Virgil Abloh kembali menampilkan koleksi terbarunya untuk Louis Vuitton pria musim gugur 2021. Dimulai dengan sebuah film bertajuk Peculiar Contrast, Perfect Light, Abloh menciptakan latar yang menggambarkan dualisme.
Beberapa ruangan terlihat layaknya tengah kota Paris dan sebuah desa di pegunungan Swiss, yang terinspirasi dari esai karya James Baldwin, Stranger in the Village dari tahun 1953, lengkap dengan serangkaian pertunjukan yang diekspresikan dalam tarian, puisi, ice skating, dan skenografi.
Kandis Williams, Tosh Basco, Saul Williams, Yasiin Bey, Black Cracker dan Steven Sowah adalah sederet seniman yang ikut dalam penampilan ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Stranger in the Village, Baldwin menggambarkan pengalamannya sebagai pendatang Afro-Amerika di desa Leukerbad di pegunungan Swiss pada 1950-an - satu-satunya orang kulit berwarna - dan hidupnya sebagai warga kulit hitam Amerika dan menjadi seniman kulit hitam di tempat kelahiran seni yang berpengaruh di Eropa.
Di sini, Virgil Abloh merefleksikan posisi dirinya sebagai bagian dari street kid Amerika yang sekaligus menjadi direktur kreatif rumah mode mewah terbesar di dunia.
"Dalam semua hal yang saya praktikkan, saya berkontribusi terhadap kanon seni dan budaya kulit Hitam dan pelestariannya. Itulah mengapa, untuk melestarikan karya saya sendiri, saya harus menyajikannya secara panjang lebar", ungkapnya dalam shownote yang diterima CNNIndonesia.com.
Menyitir pemikir-pemikir dunia seperti Nietzsche, Wilde, dan Tolstoy, Virgil Abloh memulai story-telling dengan mempertanyakan pakem-pakem dan dresscode yang ada di kehidupan sosial masyarakat dan menawarkan versi menswear yang variatif, bersemangat, dan modern.
![]() |
Tailoring, terdiri dari setelan jas wool berwarna hitam dan mantel panjang yang memiliki konotasi formal dan dirancang untuk jenis profesi tertentu. Ia gabungkan itu dengan elemen-elemen streetwear, motif klasik Louis Vuitton dirombak dengan warna-warna pop, dan bahkan dibuat dari bahan daur ulang, sebuah ide paradoks, dimana sebuah karya klasik seharusnya bisa bertahan sepanjang masa.
Siluet-siluet yang identik dengan pemilik galeri atau seniman, pun ia gabungkan dengan siluet-siluet khas arsitek, penulis, hingga salesman.
Elemen-elemen yang secara historis dimiliki oleh sub-budaya tertentu seperti kain Kente yang berasal dari Ghana, dimana kedua orang tua Virgil Abloh berasal, dibuat dengan motif tartan khas Skotlandia, sebuah gabungan yang menurutnya sah-sah saja dan tidak akan mengurangi makna dari masing-masing elemen budaya itu.
"Asal muasal adalah sebuah kenyataan. Namun, konsep kepemilikan adalah sebuah mitos. Sebuah penemuan buatan manusia kini siap untuk kembali untuk reinvention", terangnya.
Dan sebuah koleksi Louis Vuitton tak lengkap tanpa adanya deretan aksesori dan tas. Virgil Abloh sebelumnya telah memberi bocoran melalui media sosialnya, yakni sebuah tas berbentuk pesawat dengan motif monogram.
Tema perjalanan udara sangat kental di koleksi ini, yang dalam beberapa tampilan terlihat harafiah, seperti kancing yang berbentuk pesawat serta undangan yang dikirim ke beberapa jurnalis dan influencer yang menyerupai alat perekam penerbangan berwarna oranye.
Selain itu, tas untuk lukisan, beberapa versi baru dari seri Keepall yang populer, hingga seri trunk berwarna silver. Jaket puffer dengan bentuk lanskap tiga dimensi yang terkenal di kota Paris dan New York memiliki kompleksitas tinggi dan sangat konspetual, dipasangkan dengan celana bootcut berbahan wool.
Koleksi yang terdiri dari 70 tampilan ini ditutup dengan sebuah overcoat berekor berwarna biru tua, rompi padded pinstripe biru-putih, dan topi Stetson putih dengan bandana sutera yang dikenakan di atas durag, aksesori kepala yang memiliki asosiasi yang kuat dengan budaya hip-hop. Sebuah kombinasi yang mewah.
Dengan sebuah gebrakan yang positif dan afirmatif akan nilai-nilai kekerabatan, kolaborasi dan keragaman, Virgil Abloh berhasil merangkum sebuah manifesto fesyen pria yang menawarkan cerita dan cara pandang yang berbeda.
(agn)