Warga Tuban Borong Mobil, Simbol Kebutuhan pada Gengsi
Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, 'naik kelas' dengan menyandang predikat 'Kampung Miliarder'. Warga yang berprofesi sebagai petani mendadak kaya raya setelah mendapat uang ganti pembebasan lahan untuk proyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) Tuban.
Usai tertimpa durian runtuh, warga meresponsnya dengan ramai-ramai membeli mobil. Pascapencairan ganti rugi, ada total 176 unit mobil yang dibeli warga.
"Mobil yang datang bersamaan kemarin itu perkiraan sekitar 17. Kalau selama ini ada total 176 mobil baru di beli warga. Per rumah bisa memiliki dua sampai tiga mobil," ungkap Gianto, Kepala Desa Sumurgeneng, saat ditemui pada Senin (15/2).
Melihat fenomena ini, Indera Ratna Irawati Pattinasarany, sosiolog Universitas Indonesia, menuturkan pembelanjaan berupa mobil berkaitan dengan anggapan di daerah setempat bahwa mobil merupakan sesuatu yang 'wah', bergengsi.
Lihat juga:Kisah 'Uang Kaget' Warga Tuban Borong Mobil |
"Sebenarnya membeli rumah juga bisa tapi kan kalau mobil bisa dibawa dan diperlihatkan ke orang lain, menunjukkan bahwa sekarang kaya," ungkap Ira saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/2).
Jika yang dibeli berupa rumah, hanya orang yang menyambangi rumah yang bisa melihat. Sedangkan mobil terbilang bisa dipertontonkan.
Beda tempat, beda pula benda yang dianggap keren. Ira menambahkan ini juga berkaitan dengan identitas individu. Dia memberikan contoh, seorang mahasiswa di kampus dianggap kaya saat menenteng MacBook.
Di Kabupaten Tuban, mereka yang memiliki mobil adalah petani di mana panen belum tentu menghasilkan satu buah mobil.
Terpisah, Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Sosial Universitas Indonesia, mengatakan kepemilikan mobil dianggap mampu memenuhi kebutuhan akan pengakuan sosial, status sosial, juga meningkatkan harga diri di mata masyarakat.
"Sebenarnya mencapai pengakuan sosial, status, prestise sebenarnya tidak harus kepemilikan material. Misal menjadi orang pintar berpendidikan, punya peran di masyarakat, yang sifatnya bukan material possession. Tapi kan ini butuh waktu lama," tuturnya.
"Yang dipikirkan, gimana ya bisa cepat menaikkan? Ya itu, beli rumah mewah, beli mobil, langsung kelihatan," jelas dia.
Manusia, lanjut dia, melakukan sesuatu digerakkan rasionalitas, emosi, motivasi ditambah ada pengaruh lingkungan. Ini bisa menjelaskan alasan membeli mobil dilakukan secara serempak. Mobil dianggap sebagai simbol kesuksesan. Melihat lingkungan sosial, di konteks sekarang kepemilikan mobil dikaitkan dengan kesuksesan.
Kemudian dari teori konformitas, di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku agar sesuai dengan norma, orang melihat ada yang memiliki mobil dan langsung mendapat penghargaan sosial. Dia pun meniru saja, lanjut Hamdi.
Apakah ini salah?
Dia berkata dari sisi psikologis ini tidak salah. Dalam hierarki kebutuhan manusia menurut Sosiolog Abraham Maslow, manusia memang memiliki kebutuhan untuk dihargai (esteem needs). Kemudian jalan pintas dan cepat untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan kepemilikan material misal baju bagus, mobil mentereng dan rumah mewah.
Sisi positifnya, kata dia, mungkin petani ini memperoleh sejumlah uang kemudian dibelikan beberapa mobil dan masih ada sisa. Hamdi berkata dalam psikologi ekonomi, ini masih rasional.
Di sisi lain, perilaku ini masih mendapat label negatif mengingat dulu banyak orang kaya baru (OKB) yang kurang perhitungan. Rezeki bak menang lotre, tanpa perhitungan tepat kemudian belanja berlebihan. Akibatnya, kebutuhan jangka panjang tidak terpenuhi bahkan kekurangan.
Ingat Investasi
Beranjak dari viral aksi borong mobil, Ira justru bertanya-tanya soal keberlangsungan gaya hidup warga desa. Membeli barang-barang mewah berupa mobil kemudian bisa juga barang-barang konsumtif lain tentu tidak bisa berlangsung lama. Uang bisa habis.
"Jadi bagaimana bisa mempertahankan hidup yang lebih baik ini? Apa mereka berpikir sampai ke sana?," ujarnya.
Sementara itu, Hamdi khawatir para petani ini justru bisa jatuh miskin hanya dalam waktu 5 tahun ke depan.
"Kalau enggak bisa mengelola uang, kita lihat 5 tahunan bisa miskin lagi. Karena memang dari awal tidak terlatih merangkak dari bawah (untuk memperoleh uang), mengelola uang, tahu pertimbangan pengeluaran, investasi maupun gimana memperhitungkan pengeluaran," katanya.
Ia menduga tanah yang dijual untuk proyek awalnya tanah yang dipakai untuk pertanian. Meski laju pertambahan nilai kekayaannya tidak bisa drastis, tetapi dalam jangka panjang terbilang aman.
Kemudian tanah ini berubah menjadi uang yang dibelikan barang konsumtif. Mungkin ada sisa tetapi ini untuk menopang gaya hidup warga. Memiliki mobil tentu memerlukan perawatan, bahan bakar, juga pajak.
"Jangan sampai habis beli terus miskin. Kalau kita mau mencegah, baiknya menghimbau ke stakeholder seperti Pemda, tokoh masyarakat, ulama untuk memberikan masukan agar tidak jor-joran tetapi untuk investasi, kelola uang dengan baik, utamakan sektor investasi," imbuhnya.
(els/arh)