LOVE STORY

Akhirnya Ku Melepas Teman Tapi Mesra di Pelaminan Orang Lain

CNN Indonesia
Minggu, 28 Mar 2021 17:31 WIB
Menghadiri pernikahan seorang sahabat tidak pernah seberat saat dia adalah sosok yang diam-diam saya harap berdampingan di atas pelaminan.
Menghadiri pernikahan seorang sahabat tidak pernah seberat saat dia adalah sosok yang diam-diam saya harap berdampingan di atas pelaminan. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)

Saya mulai bercerita ke seorang teman. Beberapa ada yang sudah menduga, tapi ada pula yang kaget dengan hubungan yang kami jalani.

Sekali waktu, salah seorang teman yang saya ceritakan pernah mendapati kontak saya ada di kolom favorit, bersama dengan kekasih Irfan.

Ya, saat itu dia memang sudah punya seorang kekasih, juniornya di kampus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Membingungkan bukan? Tapi salahkah jika saya berusaha berpikir positif bahwa kami hanya sahabat dekat? Dan salahkah saya jika saya mulai jatuh hati dengan seluruh perlakuan, yang mungkin bisa saya sebut istimewa?

Ada gejolak di hati untuk bertanya langsung padanya.

"Kita ini apa sih?"

Sayangnya, pertanyaan hanya saya simpan. Saya pikir, apa hak saya mempertanyakan perasaan saat dia sudah jelas memiliki seorang pasangan? Saya juga tak ingin hubungan persahabatan kami justru meregang karena pertanyaan tersebut. Saya pun memendamnya, meski hati bak ditusuk 1000 pedang ketika dia bilang dia punya pacar. Ini friendzone atau 'safe' zone? Entahlah.

Jangan-jangan, memang saya saja yang berlebihan termakan omongan teman-teman saya soal kami.

Dan sejak itu, saya membiarkan hubungan kami terus berjalan demikian. Membiarkan tanpa jawaban dan hingga meregang dengan sendirinya.

Ada harap dia kembali datang, menanyakan kabar kembali, pergi ngopi, setidaknya mengembalikan hubungan pertemanan kami. Sebenarnya, akan lebih baik kalau dia putus dengan kekasihnya dan menyatakan cintanya pada saya. Tapi itu fantasi, fantasi berlarut-larut yang akhirnya pupus sendiri.

Begitu masuk ke dunia kerja kami tak banyak bertukar sapa. Bertemu pun hanya sesekali karena kumpul dengan sirkel kami di SMA.

Pernah sekali waktu ia menjemput saya kerja, kami minum kopi bersama lalu bercerita hingga larut. Namun hanya itu, setelahnya seperti ada tembok tinggi antara kami.

Dari balik tembok, saya tergantung tanpa kejelasan. Benar, saya masih mengharapkan hatinya, bukan cuma teman. Tapi ah lagi-lagi, saya masih tak berani jujur padanya. Saya mau dia tahu dan sadar sendiri betapa saya merindukannya dan menginginkannya lebih dari teman.

Dia masih sama seperti dulu, tak peka pada saya. Tidak pernah ada pernyataan. Yang tertinggal hanya pertanyaan bertahun-tahun yang mungkin tak akan terjawab.

Akhirnya, pertanyaan saya pun terjawab beberapa tahun kemudian, lewat surat. Bukan surat biasa, tapi sepucuk undangan pernikahan.

Pikiran saya kembali berkecamuk, perlukah saya datang?

Di satu sisi, saya merasa perlu hadir, sebagai sahabat dekatnya, juga sebagai bukti bahwa saya baik-baik saja. Entah di depannya, atau juga teman-teman saya.

Di sisi lain, melihat undangannya saja saya sudah hancur, apalagi harus melihatnya dengan orang lain di pelaminan?

Akhirnya saya datang, meski sembari menguatkan hati dan mencoba ikhlas. Tapi setidaknya, pertanyaan saya selama ini pun terjawab sudah. Saya tak ingin lagi membuang waktu dengan mengharapkan sisa-sisa perasaannya dan bayang-bayang wajahnya untuk saya.

Hari itu, hari bahagianya, juga jadi sebuah titik balik ketika saya berani mengambil langkah untuk benar-benar melepas Irfan, mengizinkan hati saya untuk bahagia setelah saya siksa bertahun-tahun lamanya.

Ini juga sesuatu yang seharusnya saya lakukan sejak dulu, mengambil sikap dan keputusan untuk diri sendiri di saat dia tak bisa memberi kepastian.

Dan, setelah semuanya reda, biarlah bahagia itu datang lagi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari pembaca CNNIndonesia.com, Ratih (28 tahun), yang bercerita soal pengalaman hidup pribadinya.
(agn/chs)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER