Jakarta, CNN Indonesia --
Beberapa tahun yang lalu, Journal du Dimanche, salah satu surat kabar yang terbit di Prancis, pernah menulis artikel yang mengungkap bahwa dalam setahun lebih ada selusin turis asal Jepang yang membutuhkan perawatan psikologi setelah mengalami 'Paris Syndrome (Sindrom Paris)'.
'Sindrom Paris' nyata adanya ketika turis memiliki ekspektasi berlebihan bahwa kota Paris seindah kisah novel dan film. Namun nyatanya, kondisi kota Paris sama seperti kota-kota besar lainnya: ramai, macet, dan sibuk.
"Sepertiga pasien segera sembuh, sepertiga menderita kambuh dan sisanya menderita psikosis," kata Yousef Mahmoudia, psikolog di rumah sakit Hotel-Dieu, di sebelah katedral Notre Dame, kepada surat kabar Journal du Dimanche, seperti yang dikutip dari Reuters pada 2007.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tahun tersebut, kedutaan besar Jepang di Paris harus memulangkan setidaknya empat pengunjung - termasuk dua wanita yang yakin kamar hotel mereka disadap dan ada rencana untuk menyakiti mereka.
Kasus-kasus sebelumnya termasuk seorang pria yang yakin dia adalah "Raja Matahari" Prancis, Louis XIV, dan seorang wanita yang percaya dia diserang dengan microwave, surat kabar tersebut mengutip pernyataan pejabat kedutaan Jepang, Yoshikatsu Aoyagi.
"Pelancong yang rapuh bisa kehilangan arah. Ketika gagasan yang mereka miliki tentang negara tersebut tak sama dengan kenyataan yang mereka temukan, hal itu dapat memicu krisis," kata psikolog Herve Benhamou kepada surat kabar tersebut.
Mengutip The Culture Trip, psikiater Prancis-Jepang Hiroaki Ota pertama kali menggunakan istilah 'Sindrom Paris' untuk menggambarkan gangguan psikologis sementara ini pada tahun 1986.
Penjelasan 'Sindrom Paris' lalu kembali dirinci dalam jurnal psikiatri Nervure pada tahun 2004.
Dalam istilah awam, 'Sindrom Paris' dapat dianggap sebagai bentuk kekagetan akan budaya baru atau kerinduan kampung halaman yang parah.
Kondisi tersebut diduga disebabkan oleh empat faktor. Pertama adalah kendala bahasa. Kedua ialah soal gaya komunikasi, mulai dari nada bicara sampai humor.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Faktor ketiga yang dapat memicu 'Sindrom Paris' ialah kelelahan fisik selama berwisata. Dan yang terakhir: jet lag.
Keempat faktor tersebut diperparah dengan gambaran Paris yang indah dan menawan di segala sudutnya, yang mungkin masih dipercaya oleh sebagian besar turis asal Jepang.
Bernard Delage dari Jeunes Japon, sebuah asosiasi yang membantu keluarga Jepang menetap di Prancis, berkata: "Di toko-toko Jepang, pelanggan adalah raja, sedangkan di sini asisten mengacuhkan mereka ... Orang-orang yang menggunakan transportasi umum semuanya terlihat galak, belum lagi kehadiran penjambret."
Seorang wanita Jepang, Aimi, mengatakan kepada surat kabar itu: "Bagi kami, Paris adalah kota impian. Semua orang Prancis itu cantik dan anggun ... Dan kemudian, dalam kenyataannya, orang Jepang menemukan bahwa karakter orang Prancis adalah kebalikan dari karakter mereka."
Cara menghindari 'Sindrom Paris'
Sesuatu yang berlebihan sudah pasti tidak baik, seperti melakukan perjalanan wisata dengan ekspektasi tinggi, yang mungkin dapat menyebabkan halusinasi sampai depersonalisasi, misalnya untuk sementara waktu kehilangan jati diri.
Terlepas dari namanya, 'Sindrom Paris' bukanlah sesuatu yang hanya dialami di ibu kota Prancis. Fenomena ini dapat terjadi pada siapa saja yang mencari "sepotong surga" di luar negeri.
Bisa saja terjadi pada turis yang melakukan perjalanan ke destinasi eksotis, seorang remaja yang melakukan petualangan solo pertamanya, seorang ekspatriat yang pindah ke luar negeri, atau seorang pengungsi politik atau imigran yang meninggalkan rumah untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik.
Mengutip TripSavvy, sindrom serupa juga bisa terjadi pada individu religius yang melakukan perjalanan ke Yerusalem atau Mekah, atau orang Barat yang bepergian ke India untuk pencerahan spiritual.
Bagi yang baru pertama kali ke Paris, ingatlah bahwa kisah fiksi dan kehidupan realita amatlah berbeda, jadi jangan memiliki ekspektasi terlalu tinggi bahwa kota ini 100 persen indah dan menawan. Tak hanya Paris, setiap kota di dunia pasti punya sisi indah dan buruknya.
Tetap berpikiran terbuka dan anggap "keburukan" yang ditemui menjadi pengalaman unik nan berharga. Jalani jadwal wisata dengan santai, jangan terburu-buru, sehingga membuat diri lelah dan gagal mendapat makna sebenarnya dari berwisata: menyenangkan diri.
Jika Anda termasuk salah satu turis yang mengalami 'Sindrom Paris', segera hubungi ahli kesehatan terdekat yang dapat menenangkan kecemasan tersebut.