Ejekan pada tubuh sendiri hadir dalam beragam bentuk. Bisa saja itu berbentuk komentar soal tubuh yang makin berisi, terlalu kurus, atau begitu pendek.
Secara garis besar, siapa pun bisa mengalami body shaming. Namun, jika dikelompokkan, ada beberapa yang rentan mengalami hal tersebut.
Tanpa Anda sadari, ada standar tubuh tertentu yang melekat pada masing-masing gender. Perempuan dianggap menarik, layak, baik saat tubuhnya kurus, rambut hitam panjang, juga kulit putih bersih. Sedangkan laki-laki dengan tubuh tinggi dan berotot dianggap lebih diinginkan. Namun, umumnya perempuan dilekatkan dengan standar ketat kecantikan yang tidak realistis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masa remaja jadi masa pencarian jati diri. Mereka rentan terhadap body shaming, weight shaming, lalu aksi mempermalukan lain yang berkaitan dengan penampilan. Citra tubuh dan harga diri remaja sebagian besar dipengaruhi oleh anggota keluarga, teman sebaya, dan media sosial.
Body shaming pun bisa terjadi di lingkungan kerja. Topik mengenai berat badan dan diet cenderung populer di kalangan pekerja dan lingkungan kerja.
Di Indonesia, body shaming akan berkaitan dengan budaya kolektif masyarakat. Veronica mengatakan, ada rasa kedekatan antaranggota masyarakat mesti tidak ada ikatan keluarga atau bahkan pertemanan. Unggahan di media sosial pun membuat orang merasa berhak untuk berkomentar.
Praktik ini biasanya terjadi saat bertemu langsung. Komentar atau pertanyaan yang sebenarnya bernuansa body shaming dijadikan basa-basi atau pembuka obrolan. "Orang cenderung mengomentari yang terlihat," ujar Veronica.
Untuk mengatasinya, Veronica menyarankan agar memahami bahwa komentar body shaming umumnya dikeluarkan pada level komunikasi yang tidak mendalam dan melibatkan emosi. Komunikasi mendalam dan melibatkan emosi hanya terjadi pada orang terdekat yang berpengaruh dalam hidup.
"Pahami bahwa komunikasi kita dengan mereka bukan di level mendalam. Tapi, sekali lagi hanya basa-basi, jadi enggak usah diambil hati," ucap Vera.
(els/asr)