Sementara itu, yang mengharamkan dalam kondisi tertentu dan membolehkan dalam kondisi yang lain adalah para ulama Hanafi.
Istimna' diharamkan bila sekadar untuk membangkitkan dan mengumbar dorongan syahwat. Namun, ketika kuatnya dorongan syahwat, sementara pasangan sah tempat menyalurkan tidak ada, sehingga istimna' semata untuk menenangkan dorongan tersebut, maka hal itu tidak dipermasalahkan.
Sebab, bila tidak dilakukan justru ditakutkan akan terjerumus kepada perbuatan zina, dengan tujuan sebagaimana dalam kaidah:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
تحصيلاً للمصلحة العامة، ودفعاً للضرر الأكبر بارتكاب أخف الضررين
Meraih kemaslahatan umum dan menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil sesuatu (antara dua perkara) yang lebih ringan bahayanya.
Bahkan, Ibnu 'Abdidin dari ulama Hanafi menyatakan wajibnya ismina' bila dipastikan mampu membebaskan diri dari perbuatan zina.
Singkatnya, pendapat para ulama Hanafi ini memiliki dua sisi: pertama boleh karena darurat, dan haram karena masih ada solusi terbaik, yaitu berpuasa.
Pendapat ulama Hanbali sejalan dengan pendapat ulama Hanafi.
Menurut ulama Hanbali, istimna' hukumnya haram kecuali karena mengkhawatirkan dirinya terjerumus kepada perbuatan zina, atau karena takut akan kesehatan, baik fisik atau mentalnya, sedangkan istri tidak ada dan menikah belum mampu. Maka tidak ada salahnya istimna' baginya.
Bahkan, menurut sebagian ulama Bashrah, yang sudah menikah pun diperbolehkan istimna' manakala ia berada dalam perjalanan, bukan di tempat tinggal.
Sebab dalam kondisi ini, ia diyakini lebih mampu menjaga pandangan dan perbuatan zina.
Dan pendapat lainnya adalah yang memakruhkan. Ini adalah pendapat Ibnu Hazam, sebagian pendapat Hanafi, sebagian pendapat Syafi'i, dan sebagian pendapat Hanbali.
Istimna' juga dimakruhkan karena termasuk perkara yang status keharamannya tidak dijelaskan Allah SWT secara eksplisit. Sehingga ia hanya merupakan akhlak yang tidak mulia dan perangai yang tidak utama.
(agn)