Bangkok, CNN Indonesia --
Banyak orang yang meninggalkan pekerjaannya di kampung halamannya untuk bekerja di luar negeri. Tapi, saya justru merantau ke negeri tetangga karena belum juga mendapat pekerjaan di negeri sendiri.
Saat ini saya berkarier sebagai guru taman kanak-kanak (TK) di salah satu sekolah di Bangkok, Thailand. Saya sudah bermukim di sini sejak tahun 2018.
Tapi ini bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di Negara Gajah Putih, karena selama kuliah di Yogyakarta saya sempat menjadi anggota relawan pengajar di daerah pelosoknya pada tahun 2016. Berkat program itu juga saya akhirnya mendapat kesempatan bekerja tetap di sini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena sudah pernah ke Thailand sebelumnya, jadi sebenarnya tidak banyak ekspektasi berlebihan mengenai negara kerajaan ini.
Hanya saja salah satu ekspektasi saya yang tidak terwujud karena pandemi virus Corona ialah pulang ke kampung halaman saya di Makassar.
Hidup mandiri dalam perantauan sudah saya lakukan sejak duduk di bangku SMP hingga terakhir saat kuliah. Setelah rampung kuliah di Yogyakarta, sama sekali tidak terbersit di pikiran saya untuk mencari kerja di luar negeri, karena yang ada di benak saya saat itu ialah ingin pulang ke Makassar dan mencari kerja di sana.
Menjelang rampungnya skripsi, saya mencoba mengirim lamaran menjadi guru bahasa Inggris di berbagai sekolah di Tanah Air. Mungkin saya kurang beruntung, karena lamaran saya tidak mendapat panggilan. Tapi rezeki berkata lain, saya malah diajak mengajar di Thailand.
Keluarga juga mendukung karier saya di luar negeri. Bagi mereka, selagi saya saya masih muda dan belum berkeluarga sebaiknya kejar cita-cita setinggi langit, daripada hanya berdiam di Indonesia menjadi pengangguran.
Saya mensyukuri dukungan mereka, apalagi di tengah pandemi virus Corona saat ini, di mana banyak kondisi pemutusan hubungan kerja di mana-mana.
Jadi guru tentu saja tidak mudah, karena selain mengajari murid kita juga masih harus mengajari diri kita sendiri. Mengajar anak TK juga lebih "menantang", karena mereka masih dalam masa pertumbuhan. Salah ajar bisa berakibat mereka salah menerka tentang sesuatu.
Tapi jam terbang saat praktek memang dibutuhkan, jadi tidak hanya teori semata. Kita harus mencoba melakukannya, jangan hanya terbatas dari cara-cara yang dipelajari saat di bangku kuliah.
 Penulis saat berkegiatan di sekolahnya di Bangkok, Thailand. (Arsip Aulia Amirah Anugrah) |
Semangat belajar tinggi
Saya cukup kaget dengan semangat belajar anak-anak Thailand. Bukan hanya di sekolah internasional saja, bahkan saat saya masih jadi relawan di daerah.
Mereka sangat percaya diri. Dari menunjuk tangan menjawab pertanyaan sampai bernyanyi di muka kelas. Dari sekadar menyapa sampai mengajak gurunya berbincang, bahkan dalam bahasa Inggris yang sederhana.
Guru di sekolah saya diajari untuk membiasakan murid berbicara bahasa Inggris. Khusus murid TK yang durasi belajarnya tiga tahun, kami diminta untuk tidak terlalu memikirkan soal tata bahasanya. Cukup memberi mereka apresiasi yang sudah mau berbahasa Inggris. Jadi sering kali saya berbincang topik yang tidak nyambung dengan anak murid saya hehe...
Muslimah di Thailand
Saya satu-satunya pemeluk agama Islam di sekolah. Selebihnya mereka memeluk Buddha, agama mayoritas, atau Kristen.
Meski mengenakan hijab, saya masih merasa diterima di sini. Mereka juga mengizinkan saya untuk menunaikan ibadah salat di ruang UKS sekolah. Begitu juga dengan cuti hari raya besar, seperti Idulfitri dan Iduladha.
Hanya saja, anak-anak murid saya yang mungkin jarang melihat perempuan berhijab. Beberapa dari mereka ada yang melirik malu-malu, sampai ada yang mengelus kerudung saya sambil bertanya "Ini apa?" dengan mukanya yang polos. Saya lalu menjawab dengan penjelasan yang sederhana, sehingga mereka mengerti bahwa hijab merupakan pakaian seorang wanita yang memeluk agama Islam.
Hampir empat tahun saya tinggal di Thailand tapi saya sama sekali belum menguasai bahasanya. Memang banyak penduduk yang cukup fasih berbahasa Inggris, tapi kalau sudah ke pasar tradisional atau hendak menemukan nama jalan, biasanya saya mengandalkan gambar, Google Translate dan Google Maps.
Oh iya, peraturan di sekolah juga tidak mengizinkan guru berbincang bahasa Thailand dengan muridnya, sehingga mereka tidak malas untuk berbahasa Inggris.
Untuk berbincang dengan orang tua murid, biasanya guru asing bakal ditemani oleh guru asisten yang notabene warga negara Thailand. Mereka akan menjadi perantara selama perbincangan.
Tapi seingat saya, saya jarang sekali berinteraksi dengan orang tua murid, kecuali ada hal yang sangat penting untuk disampaikan.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Biaya hidup
Murah atau mahalnya hidup di Thailand memang sangat relatif. Kalau setiap hari belanja atau makan di restoran tentu saja bakal boros. Oleh karena itu saya memilih tempat tinggal yang ada dapur, sehingga bisa memasak. Alasannya juga termasuk agar terhindar dari makanan yang non-halal.
Sebagai perempuan berhijab, jujur saja saya belum pernah mengalami perlakukan tidak mengenakkan di Thailand. Setiap saya pulang larut malam misalnya, suasana jalanan juga masih terasa aman. Islam memang menjadi agama kedua terbesar di sini setelah Buddha, jadi penduduknya tidak aneh lagi dengan penampakan hijab.
Selain makanan halal, tantangan lain untuk tinggal di Thailand itu menurut saya ialah jarangnya tempat ibadah. Jadi kalau hendak berkegiatan di luar, sebisa mungkin saya salat dulu di rumah.
Dari pengalaman saya, kasus pelecehan SARA memang jarang terjadi di Thailand. Mungkin karena penduduknya sudah sangat menerima pendatang dari luar negeri. Tapi jangan coba-coba menghina Kerajaan atau Buddha di sini, karena pasti mereka akan marah.
Penduduk Thailand juga tidak memandang orang hanya dari kepercayaan atau penampilannya. Walau mereka menjunjung tinggi kesempurnaan penampilan - kulit putih, hidung mancung, badan langsing, rambut lurus - tapi mereka tak akan mengejek orang hanya karena ia bukan Buddha atau bahkan LGBT.
Kaum transgender - sebutan di sini lady boy atau lady girl - di sini juga bisa memiliki jenjang karier, dari guru sampai jadi pegawai negeri sipil. Yang dilihat bukan penampilan, melainkan kemampuan. Kalau bisa bekerja, mengapa tidak dipekerjakan.
Bukti bahwa penduduk Thailand itu pecinta damai juga bisa dilihat dari kondisi jalanannya. Akan jarang sekali kita mendengar suara klakson kendaraan bermotor, terutama di pagi hari di saat banyak pemeluk agama Buddha melakukan meditasi.
Membunyikan klakson bisa dianggap perlakuan kurang sopan, karena berisik. Nyatanya, membunyikan klakson juga tidak membuat jalanan bebas macet secara instan, kan?
 Penulis saat berkegiatan di sekolahnya di Bangkok, Thailand. (Arsip Aulia Amirah Anugrah) |
Tips wisata
Di TikTok (nama akun saya amiirahanugrah), saya sering membagikan informasi mengenai tempat belanja produk kecantikan Thailand, salah satu yang paling lengkap ialah Tofu.
Untuk wisata kuliner, saya sarankan mengunjungi pasar malamnya, karena banyak lapak pedagang kaki lima yang bisa disambangi, terutama bagi turis yang malas keliling kota.
Selain menjaga barang berharga dari pencopetan, tips lain dari saya untuk wisatawan Indonesia yang ingin berkunjung ke Thailand ialah menghormati adat istiadat penduduk di sini, baik soal Kerajaan, Buddha, hingga komunitas LGBT-nya.
Rasanya tak perlu nyinyir secara langsung mengomentari polemik politik di sini. Atau memberi pandangan sinis terhadap sosok atau pasangan LGBT.
Sebelum Thailand menutup gerbang pariwisatanya akibat Covid-19, saya masih sering melihat turis asal Indonesia yang melakukan dua hal tersebut. Rasanya malu, karena saya tidak ingin Indonesia dicap sebagai negara yang tak menghargai perbedaan.
Yang paling parah ialah saat saya melihat empat orang turis Indonesia enggan berdiri ketika bioskop Thailand memutar lagu kebangsaan. Padahal itu sudah menjadi tradisi penghormatan negara.
Saya harap saat gerbang pariwisata Thailand sudah dibuka lagi, ada lebih banyak wisatawan Indonesia yang datang ke Thailand dengan sikap yang lebih baik.
Mencari kerja di Thailand
Ada banyak kesempatan bekerja di Thailand, asal kita mau berusaha mencarinya. Saya sering ditanya soal cara mencari kerja sampai diterima, tapi yang saya bisa sarankan ialah terus kirim lamaran dan perbaiki kemampuan.
Sebelum diterima bekerja di tempat sekarang, jujur saja saya telah mengirim lamaran ke 70 sekolah. Sepuluh sekolah merespons lamaran saya. Tapi hanya empat sekolah yang memanggil saya untuk wawancara.
Jangan langsung putus asa jika tidak diterima. Sebaiknya kita harus merefleksi diri, mungkin ada yang salah saat wawancara. Perbaiki masalah dan jadilah pribadi yang lebih baik.
Dan jangan lupa, jangan sampai terbuai dengan tawaran kerja bergaji besar namun berkedok penipuan. Saya sarankan jangan percaya dengan perusahaan atau agen yang meminta uang untuk mendapatkan pekerjaan.
[Gambas:Instagram]
-
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, silakan hubungi [email protected]
Di tengah pandemi virus Corona, perjalanan wisata masih dikategorikan sebagai perjalanan bukan darurat, sehingga sebaiknya tidak dilakukan demi mencegah penyebaran dan penularan Covid-19, terutama di daerah yang masih minim fasilitas kesehatannya.
Jika hendak melakukan perjalanan antarkota atau antarnegara, jangan lupa menaati protokol kesehatan pencegahan virus Corona, dengan mengenakan masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak fisik antarpengunjung. Jangan datang saat sakit dan pulang dalam keadaan sakit.