Jakarta, CNN Indonesia --
Di perairan Prefektur Nagasaki, Jepang, ada sebuah pulau yang terlihat kumuh dan berantakan. Meski ada banyak bangunan tinggi di sana, namun tak ada satu pun penghuninya. Pulau tersebut ialah Pulau Hashima.
Pulau Hashima juga sering disebut warga lokal sebagai Pulau Gunkajima. Pulau ini semakin populer setelah kisahnya dan lokasinya diangkat ke dalam film layar lebar 'The Battleship Island' (2017), 'Attack on Titan' (2015) dan 'James Bond: Skyfall' (2012).
Sebelum populer sebagai "pulau angker", Pulau Hashima awalnya berfungsi sebagai operasi penambangan bawah laut dan saksi bisu industrialisasi Jepang yang pesat pada tahun 1890-an.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak cuma area tambang dan pabrik, pulau ini juga dilengkapi oleh pemukiman.
Ketersediaan lapangan pekerjaan membuat semakin banyak orang yang menghuni pulau ini. Pada tahun 1950-an, populasi telah membengkak menjadi sebanyak 5.000 jiwa.
Namun ketika tenaga batu bara digantikan oleh bensin, harga batu bara turun, dan banyak tambang, termasuk di Pulau Hashima, ditutup secara permanen.
Pada tahun 1975 pulau itu benar-benar kosong setelah ditinggalkan penghuninya.
Kritik UNESCO dan Korea Selatan
Eksistensi Pulau Hashima dalam sejarah industrialisasi Jepang membuatnya masuk dalam salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO, meski kontrovesi mengenai isu kerja paksa menyertainya.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Kabarnya, sebelum dan selama Perang Dunia II terjadi kerja paksa di Pulau Hashima. Kondisi yang mengerikan dan lingkungan yang tidak aman menyebabkan penderitaan yang tak terhitung bersama dengan ribuan kematian yang tidak tercatat.
Agen wisata yang menggelar tur ke Pulau Hashima jarang menceritakan hal ini kepada wisatawan.
Mengutip tulisan di Japan Cheapo yang terbit pada tahun 2019, hingga saat ini tidak ada tugu peringatan untuk mengenang korban kerja paksa di Pulau Hashima, meski UNESCO telah meminta Jepang membangunnya sejak pulau itu masuk daftarnya pada tahun 2015.
Melansir dari The Korea Herald, pemerintah Korea Selatan juga ikut mengkritik Jepang atas lambatnya pembangunan tugu peringatan itu.
Pasalnya, penduduk Korea Selatan tercatat ada yang pernah kerja paksa di tujuh dari 23 situs Meiji selama pendudukan kolonial Jepang di Korea dari tahun 1910 hingga 1945.
 Wisatawan di Pulau Hashima. (iStockphoto) |
Kondisi pulau sekarang
Warga sekitar menganggap kalau Pulau Hashima beserta reruntuhannya "merusak pemandangan", meski banyak bagi pecinta dark-tourism alias wisata kelam pulau ini sangat membuat penasaran untuk didatangi.
Hingga saat ini pulau itu masih tegak berdiri. Semak liar menggerogoti tembok bangunannya, bersama dengan kisah misteri yang terus menghantuinya, mulai dari hantu pekerja yang meninggal atau hilang saat bekerja sampai hewan buas.
Tapi bukan hal astral saja yang membuat Pulau Hashima mengerikan. Menurut para ahli, fondasi pulau ini sudah reyot sehingga rawan runtuh. Belum lagi ada banyak area "ranjau" yang berisiko rubuh saat dipijak.
Oleh karena itu, wisatawan wajib datang dengan pemandu wisata ke pulau ini. Sejak gerbang wisata di sana dibuka pada tahun 2009, ada beberapa agen wisata yang menggelar tur ke pulau ini, seperti Yamasa Shipping Co. Ltd., The Gunkanjima Concierge Company dan Gunkanjima Cruise.
Selain keselamatan, ada beberapa hal yang perlu diperhatian sebelum menjelajahi Pulau Hashima.
Yang paling utama ialah cuaca. Perairan Nagasaki terbilang berbahaya, ombaknya tinggi dan anginnya kencang. Bisa saja tur dibatalkan karena cuaca terlalu buruk, bahkan saat wisatawan sudah berada di atas feri menuju pulau.
Perjalanan pulang pergi memakan waktu sekitar dua jam jika cuaca cerah.
Yamasa Shipping Co. Ltd. mencatat kalau dalam setahun pihaknya "hanya" bisa menggelar tur selama 100 hari. Wisatawan yang mengalami pembatalan tur biasanya mendapat penggantian dana.
Peserta tur juga wajib berkondisi sehat. Lansia, wanita hamil, anak di bawah umur dan penyandang difabel tak akan bisa mengikuti tur ini.
Peserta wajib menandatangani kontrak keselamatan sebelum melakukan tur dan mematuhi segala aturan yang diminta pemandu selama keliling 60 menit di sana.
Di tengah pandemi virus Corona, perjalanan wisata masih dikategorikan sebagai perjalanan bukan darurat, sehingga sebaiknya tidak dilakukan demi mencegah penyebaran dan penularan Covid-19, terutama di daerah yang masih minim fasilitas kesehatannya.
Jika hendak melakukan perjalanan antarkota atau antarnegara, jangan lupa menaati protokol kesehatan pencegahan virus Corona, dengan mengenakan masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak fisik antarpengunjung. Jangan datang saat sakit dan pulang dalam keadaan sakit.