Jakarta, CNN Indonesia --
Monyet-monyet di Sangeh Monkey Forest (Hutan Monyet Sangeh), Bali, mulai mendatangi pemukiman warga, karena wisatawan yang biasanya memberi mereka makanan tidak kunjung terlihat selama masa pembatasan perjalanan pandemi virus corona.
Penduduk desa di Sangeh mengatakan kera ekor panjang abu-abu telah berkeliaran keluar dari cagar alam yang berjarak sekitar 500 meter untuk bergelayutan di atap mereka dan menunggu waktu yang tepat untuk turun dan mengambil makanan ringan.
Khawatir bakal terjadi serangan monyet-monyet yang kelaparan, warga telah membawa buah-buahan, kacang tanah, dan makanan lainnya ke Hutan Monyet Sangeh untuk mencoba menenangkan primata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami takut monyet-monyet lapar itu menjadi liar dan ganas," kata warga desa Saskara Gustu Alit, seperti yang dikutip dari AP pada Jumat (3/9).
Sekitar 600 kera hidup di cagar alam hutan, berayun dari pohon pala yang tinggi dan melompat-lompat di sekitar Pura Bukit Sari yang terkenal, dan dianggap keramat.
Pada waktu normal, kawasan hutan lindung di tenggara pulau Indonesia ini populer di kalangan penduduk lokal sebagai lokasi foto pernikahan, maupun di kalangan pengunjung internasional.
Monyet yang relatif jinak dapat dengan mudah dibujuk untuk duduk di bahu atau pangkuan setelah memberinya satu atau dua butir kacang.
Pariwisata adalah sumber pendapatan utama bagi 4 juta penduduk Bali, yang menyambut lebih dari 5 juta pengunjung asing setiap tahunnya sebelum pandemi.
Hutan Monyet Sangeh biasanya dikunjungi sekitar 6.000 pengunjung per bulan, tetapi ketika pandemi menyebar tahun lalu dan perjalanan internasional menurun drastis, jumlahnya turun menjadi sekitar 500.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Sejak Juli, ketika Indonesia melarang semua pelancong asing ke Bali dan juga menutup tempat perlindungan itu bagi penduduk lokal, tidak ada seorang pun yang datang.
Ketiadaan wisatawan berarti tidak ada yang membawa makanan tambahan untuk monyet-monyet di sana.
Pengelola suaka itu juga kehilangan pemasukan dan kehabisan uang untuk membeli makanan bagi mereka, kata manajer operasi Made Mohon.
Sumbangan dari penduduk desa telah membantu, tetapi mereka juga merasakan kesulitan ekonomi, sehingga donasi tidak terlalu banyak.
"Pandemi berkepanjangan ini di luar dugaan kami," kata Made Mohon, "Makanan monyet jadi masalah."
Biaya makanan mencapai sekitar Rp850 ribu sehari, kata Made Mohon, untuk 200 kilogram singkong, makanan pokok kera, dan 10 kilogram pisang.
Kera adalah omnivora dan dapat memakan berbagai hewan dan tumbuhan yang ditemukan di hutan, tetapi monyet di Hutan Monyet Sangeh telah sering kontak dengan manusia selama bertahun-tahun, sehingga mereka tampaknya lebih menyukai hal-hal lain.
Dan mereka tidak takut untuk bertindak agresif demi makanan, kata Gustu Alit.
Seringkali, monyet berkeliaran di desa dan duduk di atap rumah, kadang-kadang melepaskan genteng dan menjatuhkannya ke tanah.
Ketika penduduk desa mengeluarkan makanan persembahan keagamaan setiap hari di teras mereka, monyet-monyet itu melompat turun dan memakannya.
"Beberapa hari lalu saya menghadiri upacara adat di pura dekat hutan Sangeh," kata Gustu Alit.
"Ketika saya memarkir mobil saya dan mengeluarkan dua kantong plastik berisi makanan dan bunga sebagai persembahan, dua monyet tiba-tiba muncul dan mengambil semuanya dan berlari ke hutan dengan sangat cepat."
Biasanya, monyet menghabiskan sepanjang hari berinteraksi dengan pengunjung - mencuri kacamata hitam dan botol air, menarik pakaian, melompat-lompat - dan Gustu Alit berteori bahwa lebih dari sekadar lapar, mereka kebosanan.
"Makanya saya imbau warga desa di sini untuk datang ke hutan bermain dengan kera dan menawarkan mereka makanan," katanya.
"Saya pikir mereka perlu berinteraksi dengan manusia sesering mungkin agar mereka tidak menjadi liar."
[Gambas:Photo CNN]