100 TAHUN PENDAKIAN EVEREST

Sejarah Pendakian Everest, Ego Besar Manusia di Balik Jaket Tipis

CNN Indonesia
Selasa, 02 Nov 2021 12:07 WIB
Warga sekitar Pegunungan Himalaya awalnya mendaki untuk ibadah, hingga akhirnya orang-orang Inggris datang demi ego dan prestise duniawi.
Pendaki di Puncak Everest. (Tashi Tsering/Xinhua via AP)

7. Jaket tipis

Dikatakan bahwa ketika dramawan Irlandia George Bernard Shaw melihat foto tim ekspedisi Gunung Everest pada tahun 1921 - yang mengenakan pakaian sederhana berbahan wol, katun dan sutra - dia menggambarkannya sebagai "perjalanan piknik di tengah badai salju."

Kata Storti, "Peralatan pendakiannya sangat primitif, juga pakaiannya. Sepatu bot itu kain dan bukan kulit. Jadi jika badai datang -- risiko utama di Everest adalah cuacanya bukan medannya, kecuali dari utara -- mereka berisiko terkena radang dingin yang serius."

Pilson mengatakan, bahwa ada sejumlah perkembangan teknologi besar yang dimulai antara tahun 1920-an terutama dalam hal pakaian dan peralatan pendakian.

"Kemajuan modern dalam desain kain dan isolasi sintetis telah benar-benar mengubah kondisi dalam pendakian gunung. Kain tahan air yang kita anggap remeh saat ini, seperti Gore-Tex, benar-benar revolusioner ketika pertama kali memasuki pasar pada akhir 1960-an."

Untuk peralatan, "Mallory dan rekan-rekannya menggunakan tali rami, sepatu bot berpaku, kapak es berbahan kayu," kata Pilson.

"Itu adalah peralatan mutakhir pada tahun 1920-an, tetapi peralatan itu tidak dapat bekerja sebaik tali nilon atau kapak es logam yang kita gunakan saat ini."

8. Terlalu banyak orang di Everest

Sementara ekspedisi tahun 1921 tidak sampai  ke puncak, namun pendakian itu menginspirasi pendakian pertama yang berhasil sampai ke puncak pada tahun 1953, yang dipimpin oleh Tenzing Norgay dan Edmund Hillary.

"Everest sekarang menjadi salah satu gunung yang paling populer untuk didaki di dunia dan, dengan itu, datang aliran uang dan infrastruktur di kawasan itu," kata Pilson.

"Namun, popularitas Everest memiliki tantangannya sendiri. Kepadatan di Rute South Col adalah masalah nyata, seperti juga banyaknya sampah di gunung."

Terlalu banyak pendaki di Everest sempat mengakibatkan tragedi. Pada 11 Mei 1996, 12 orang tewas setelah badai salju yang menghantam antrean pendaki untuk summit ke puncaknya.

Hampir 900 orang mencapai puncak pada tahun 2019 - rekor jumlah pendakian hingga saat ini, dan 11 orang meninggal dengan kasus yang sama.

Perubahan iklim juga mengkhawatirkan.

Pilson mengatakan, "Sudah ada kekhawatiran tentang bagaimana panasnya Bumi dapat membuat Air Terjun Khumbu semakin tidak stabil, membuatnya lebih berbahaya untuk diseberangi."

Terlepas dari bahayanya, persona Gunung Everest terhadap pendaki tidak menunjukkan tanda-tanda memudar 100 tahun setelah ekspedisi pertama itu.

Daya pikatnya tidak diragukan lagi akan menginspirasi generasi petualang yang akan datang.

(ard)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2 3 4
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER