Cuitan belum sampai pada 'titik'. Usai buah-buah prestasi semasa kecil, ia menutupnya dengan 'Gedenya? Gangguan kecemasan, depresi, dan gampang burnout.'
Dari luar, Alya memang pintar.
Boleh dibilang genius malah. Namun saat menyecap bangku SD, ia merasa sulit berteman. Ada saja pertengkaran akibat perbuatannya yang tidak sopan dan melukai perasaan teman sebaya tanpa sadar. Alya teringat, saat itu ia begitu pendiam, kaku dan selalu jadi orang terakhir yang memahami candaan.
"Rasanya orang-orang di sekitarku sudah tamat membaca buku panduan Cara Berinteraksi dengan Manusia dan aku satu-satunya orang yang enggak dapet buku itu," kata Alya memberikan aiasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi serupa juga dirasakan di rumah. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, ia kesulitan terhubung secara emosional dengan kakak dan adiknya. Di luar rumah ia sulit berteman, sedangkan di rumah merasa kesepian.
Namun, yang terpenting buat orang tuanya saat itu, ia pintar secara akademis dan dipandang genius. "Aku dianggap spesial. Rasanya sangat tidak mengenakkan," katanya.
Setelah novel pertama terbit, ada dorongan dari orang tua untuk menulis novel kedua. Hanya saja, novel kedua ditolak penerbit. Alya yang sulit menerima penolakan dan terbiasa dengan keberhasilan tumbuh dengan keyakinan bahwa kegagalan menunjukkan ketidakmampuan. Dorongan untuk menulis lagi malah menjadikannya tidak bisa menulis.
"Aku emang enggak nulis buku lagi, tapi aku jadi nulis naskah skenario. Pas SMA aku gabung ke ekskul bikin film," katanya.
Selama proses pembuatan film, ia jadi makin sering berinteraksi dengan orang lain. Di sini pula ia merasakan cemas apalagi saat berhadapan dengan revisi. Kecemasan ini begitu mengganggu tetapi berkat prestasi di lomba film, Alya masih terlihat 'baik-baik saja' di mata orang tuanya.
Alya pun menekuni film hingga meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Ia nekat berkuliah di luar kota dan hidup sendiri. Bukannya memperoleh ketenangan, kecemasannya malah makin hebat.
Ia sempat merasa salah jurusan hanya karena sulit mempelajari hal-hal teknis. Timbul ketakutan bahwa ia sebenarnya hanya seorang yang biasa-biasa saja. Pujian di masa kecil ia anggap kebohongan.
"Pada tahun ke-2 dan 3 kuliah, aku mulai sering bolos kuliah, melakukan banyak perilaku self-destructive, dan beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Aku ingat suatu hari aku telepon Mama cerita soal ini dan Mama jawab, 'Tapi IP mu aman, kan?'," kenang Alya.
"Aku merasa aku bukan apa-apa jika tidak meraih sesuatu. Kesehatan dan kebahagiaanku jadi hal yang nggak penting karena aku gagal dalam hidup."
Pilihan Redaksi |
Keputusan untuk berkonsultasi dengan psikolog awalnya hanya karena butuh teman mengobrol. Namun ia menemukan bahwa tenaga profesional memang sosok yang diperlukan.
Dari sini, ia mulai menemukan bahwa tidak ada yang salah dengan dirinya. Seorang Alya hanya berbeda dari anak-anak lain khususnya berkaitan dengan otak.
Otak Alya mengalami gangguan perkembangan saraf sehingga mempengaruhi cara berkomunikasi, terhubung dengan orang lain, dan kemampuan fungsi eksekutif seperti, merencanakan, mengatur waktu, dan membereskan tempat.
Tidak heran ia sulit terhubung dengan teman sebaya sebab ada kesulitan mengartikan bahasa tubuh, intonasi, sulit mengidentifikasi emosi. Ia kerap melamun sebab otak rasanya tidak berhenti berpikir.
"Aku ingat waktu itu cerita ke psikolog kalau aku nggak ngerti kenapa aku harus hidup kalau aku aja kesulitan terhubung sama orang-orang di sekitarku dan nggak punya ambisi apa-apa," katanya.
"Psikolog nanya, "Apa goal paling dekat?".
"Aku jawab, "Oh ya aku harus nyelesein dokumenterku."."
Keputusan untuk ke psikolog memang tepat. Namun ternyata ini tidak dipandang tepat oleh orang tua. Alya menuturkan butuh waktu lama buat orang tuanya untuk terbuka dan menerima kondisi dirinya. Proses pemulihan perlahan melunturkan rasa benci Alya terhadap orang tua. Toh mereka juga manusia yang bisa berbuat salah. Namun, lanjutnya, yang terpenting mereka berusaha berubah jadi lebih baik.
"Ini melegakan buatku. Aku juga sudah berdamai dengan kakak dan adikku. Dua tahun belakangan ini (selama pandemi) jadi tahun-tahun terbaikku karena aku akhirnya merasa diterima dan disayangi. Ini juga yang bikin kondisi kesehatan mentalku improve," ungkapnya.
Sembari menempuh perjalanan pemulihan kesehatan mental, ia menggarap film dokumenter 'Warisan' yang rencana rilis tahun depan. Buatnya, film ini jadi sarana curhat akan apa yang ia alami kemarin. Pengerjaannya lama, tapi ia mengaku menikmati tiap prosesnya.
Alya belajar untuk tidak menghukum dirinya saat terbilang lambat mempelajari sesuatu. Ia mulai meninggalkan target-target atau capaian di usia tertentu.
"Sampai sekarang aku masih sering insecure dan sering merasa frustasi kalau gagal. Tapi aku sudah menanamkan gagasan ke diriku kalau gagal itu nggak apa-apa. Kalau butuh waktu yang lama untuk jago dalam satu hal ya juga nggak apa-apa. Lambat nggak berarti bodoh," katanya.
(els/chs)