Jakarta, CNN Indonesia --
Perseteruan mantan pasangan suami istri Johnny Depp dan Amber Heard menjadi perbincangan hampir semua orang.
Tagar Justice for Johnny Depp pun terus bermunculan sebagai bentuk dukungan untuk aktor yang terkenal dengan perannya sebagai Captain Jack Sparrow itu.
Maklum saja, Depp bisa dibilang kehilangan segalanya setelah Amber menudingnya sebagai pelaku KDRT. Setelah itu terungkap, Amber-lah yang kerap melakukan kekerasan terhadap Depp.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di masa sekarang, hubungan seperti ini kerap disebut sebagai toxic relationship. Toxic relationship ini disebut-sebut karena keduanya memiliki masa lalu atau masa kanak-kanak yang tidak harmonis dengan keluarganya bahkan kerap menjadi korban kekerasan.
Apa benar pasangan yang memiliki latar belakang trauma masa kecil akan berujung punya toxic relationship dengan pasangan mereka?
Psikolog klinis, sekaligus Co-founder Ohana Space Kantiana Taslim menyebut, dua orang yang memiliki trauma masa kecil atau luka masa lalu dan belum sembuh memang kemungkinan besar akan terjebak dalam hubungan toxic yang mereka buat sendiri.
Mereka biasanya akan saling tidak percaya, penuh rasa takut yang berujung pada pengekangan dan tidak jarang kekerasan.
"Bisa berdampak, tapi tidak hanya dua-duanya, salah satu (yang trauma) juga bisa berdampak, tapi ini sebetulnya bisa disembuhkan," kata Kanti saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui telepon, Senin (25/4).
Kata Kanti, yang perlu diingat dan diketahui adalah trauma masa kecil itu tidak hanya soal kekerasan, banyak jenisnya dan pengaruh terhadap diri seseorang saat dewasa pun berbeda-beda. Bisa saja hubungan toxic ini berupa terlalu protektif, meledak-ledak, hingga kekerasan seperti yang terjadi dalam hubungan Johnny Depp-Amber Heard.
Pemicu hubungan toxic
Dua orang yang pernah memiliki trauma masa lalu, baik itu berupa kekerasan, bullying, atau ditinggalkan orang yang mereka sayangi bisa memicu hubungan beracun di masa depan. Rasa takut dan pandangan yang salah akan sesuatu memicu mereka membentuk hubungan beracun.
"Ambil contoh waktu kecil seseorang sering ditinggalkan karena perceraian atau hal lain. ketika dewasa dia bisa memiliki kecenderungan over proteksi terhadap pasangan, cemburu berlebihan karena pikirannya dihantui akan ditinggalkan," kata Kanti.
Begitu juga dengan tindakan kekerasan. Bisa jadi, saat kecil orang tersebut hanya tahu bahwa menyelesaikan segala sesuatu adalah dengan memukul, membentak atau bahkan mendorong dan menampar.
Setelah dewasa dia akan berpikir dengan melakukan cara yang sama terhadap pasangannya, maka dia memiliki kuasa penuh atau kendali penuh agar pasangannya selalu menuruti apa yang dia inginkan.
"Jadi dia salah mengartikan kekerasan sebagai bentuk penyampaian rasa sayang, rasa ingin memiliki sepenuhnya," kata dia.
Bisa dilawan
Hubungan beracun atau toxic relationship akibat trauma masa lalu tentu bisa dihilangkan atau ditiadakan sama sekali. Hanya saja hal ini menurut Kanti harus sepenuhnya berdasar pada keinginan orang yang memiliki trauma.
Individu yang pernah mengalami trauma harus menyadari bahwa situasi yang dialami tidak wajar dan bisa meracuni hubungan harmonis yang selama ini dia impikan.
Di sisi lain, jika dalam hubungan tersebut hanya satu pihak yang pernah memiliki trauma, pihak lain harus selalu mendampingi pasangannya yang tengah berusaha menghilangkan rasa traumanya.
"Bisa dengan menemani ke psikolog, tidak pernah menghakimi, meskipun memang batas sabar ada tapi mendengarkan dan menerima apapun yang dimiliki pasangan bisa jadi kunci penyembuhan," kata dia.
Selain itu, jika kedua pasangan memang memiliki masalah yang sama, keduanya harus sadar dan siap melakukan konsultasi dengan profesional.