Jakarta, CNN Indonesia --
Ditya Prawasti (36) bingung saat anak bungsunya, Fano (4), harus mulai masuk sekolah pertama kali. Ibarat telenovela, hari pertama Fano pergi sekolah dipenuhi oleh drama.
"Drama banget," ujar perempuan yang akrab disapa Dita itu pada CNNIndonesia.com, Sabtu (23/7).
Mulai dari bangun tidur hingga masuk kelas, Fano hanya mengangis, menangis, dan menangis. Disuruh mandi, Fano menangis. Disuruh sarapan, Fano juga menangis. Berangkat ke sekolah, Fano juga kembali menangis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, hingga masuk ke dalam ruang kelas, Fano kembali meraung. "Saya sampai harus nunggu di depan kelas," ujar Dita. Fano tampaknya takut berada jauh dari ibunya dan harus 'nyemplung' sendirian ke dunia baru yang sebelumnya sama sekali tak dikenalnya.
Fano jadi salah satu contoh nyata 'bocah pandemi'. Dua tahun masa tumbuh kembangnya terpaksa dihabiskan di rumah saja dan minim interaksi sosial.
Selama dua tahun pandemi Covid-19 berlangsung, Fano nyaris hanya berinteraksi bersama ayah, ibu, dan kakaknya di rumah.
Selain keluarga intinya, paling-paling Fano hanya bermain dengan beberapa sepupunya, bersama dengan om dan tanteu, juga kakek dan nenek. "Tapi itu enggak yang sering banget. Jadi dia enggak pernah main sama siapa-siapa [teman]," kata Dita.
Kondisi itu jelas membuat Dita cemas. Apalagi sekarang, saat Fano mulai masuk sekolah.
"Social skill-nya masih belum terasah dengan sempurna. Dia belum terbiasa berada di keramaian yang banyak orang," ujar Dita.
Hal itu terbukti dari pengalaman pertama Fano masuk sekolah. Tiga hari masa pengenalan, Fano belum mengenal satupun temannya di kelas.
Fano bahkan diam sejenak saat ditanya siapa teman yang sudah dikenalnya di kelas. "Sama...... Guru," jawab Fano pelan.
"Jadi sampai sekarang, Fano, tuh, belum kenal sama temannya. Yang dia tahu, ya, cuma gurunya," kata Dita menjelaskan. Padahal, idealnya masa pengenalan jadi waktu bagi anak untuk mengenal lingkungan barunya, termasuk juga teman-teman.
Wajar saja. Meski sama-sama bermain di area playground, tapi Fano dan anak-anak lainnya main masing-masing.
Hal ini jelas sangat berbeda jika dibandingkan dengan saat kakaknya, Dhio, sekolah pertama kali. "Dulu, tuh, Dhio hari pertama udah langsung cerita kenal sama ini itu."
Was-was Orang Tua
 Ilustrasi. Banyak orang tua yang merasa cemas saat anaknya memulai sekolah untuk pertama kalinya setelah dua tahun pandemi. (iStock/staticnak1983) |
Dita tak sendiri. Ada banyak orang tua di luar sana yang juga merasakan kecemasan yang sama.
Gloria Safira Taylor (33), misalnya, yang juga merasa cemas saat buah hatinya, Chandini (3,5) pergi sekolah untuk pertama kalinya.
Jarak rumah ke sekolah memang tidak terlalu jauh. Gloria bertugas mengantar dan menemani anaknya di sekolah selama hari pertamanya. Rasa was-was, cemas dan takut pun bergulir di pikirannya.
"Takutlah saya, takut anak enggak bisa sosialisasi sama teman sekelasnya. Takut dia nangis, rewel, atau enggak mau berbagi sama temannya," kata Gloria.
Untungnya, hari pertama berjalan lancar. Namun, masalah --meski tidak terlalu besar-- justru muncul di hari kedua sekolah.
Simak cerita soal bocah pandemi selengkapnya di halaman berikutnya..
Di hari kedua, Chandini lebih banyak bengong tanpa interaksi. "Bengong aja dia, kayak ngantuk gitu," ujar Gloria.
Setiap kali gurunya bicara, Chandini bengong dan ogah berinteraksi dengan teman lainnya. Sampai ada satu waktu saat anak lainnya mengganggu Chandini, menggoyang-goyangkan bangku hingga si buah hati sadar dan terlihat kesal.
"Untungnya dia [Chandini] enggak ngambek, cuma masih ngeliatin aja gitu," kata Gloria.
Ini juga sebenarnya yang dikhawatirkan Gloria. Apalagi mulai pekan depan orang tua dilarang mendampingi sampai ke depan kelas. Gloria takut anaknya diganggu anak lain seperti kemarin.
Dia pun terus memberikan wejangan pada Chandini, bahwa perilaku-perilaku seperti itu harus dilawan. Entah itu dengan cara melaporkannya ke guru atau melawan anak tersebut secara langsung.
"Saya selalu bilang ke dia, kalau ada yang nakal laporin atau lawan. Tapi jangan sampai dia duluan yang jadi pengganggu," kata Gloria.
Butuh Usaha Lebih
Kondisi ini membuat banyak orang tua harus berusaha ekstra. Utamanya, untuk meningkatkan kemampuan anak dalam kehidupan sosial.
Artis Putri Titian percaya bahwa masalah kurangnya kemampuan berinteraksi bocah pandemi ini bisa diatasi.
Iago, anak bungsunya yang baru berusia 3,5 tahun, juga memasuki hari pertama sekolahnya pada pekan lalu. Iago tumbuh di masa pandemi. Ia tak banyak bersosialisasi dengan dunia luar.
 Ilustrasi. Orang tua butuh usaha ekstra untuk memberikan banyak stimulasi sosial untuk anak. (Istockphoto/nilimage) |
Saat memasuki masa transisi seperti sekarang, Tian--sapaan akrab Putri Titian--mengaku kerap kesulitan. Pasalnya, karena Iago tumbuh jadi anak yang susah bergaul.
"Dia, tuh, jadi susah ketemu orang baru, jadi lebih pemalu. Susah, deh, interaksi dengan orang. Makanya di sekolah juga gitu," kata Tian dalam sebuah webinar.
Meski begitu, Tian berusaha membuat anaknya tumbuh normal walau harus melawan pandemi. Jadi bocah pandemi memang sulit, tapi itu harusnya bisa diatasi.
"Ya, terus aja dilatih. Pas awal sekolah memang takut, kepikiran mulu. Tapi, ya, ibunya, ayahnya jangan stres soalnya itu ngaruh ke anak juga," kata dia.
Usaha ekstra yang hampir sama juga dilakukan Dita. Ia sadar bahwa sebagai orang tua dari 'bocah pandemi', dirinya harus punya cara-cara kreatif untuk meningkatkan kemampuan sosial si buah hati.
Dita berpikir keras bagaimana caranya agar Fano bisa merasa happy saat pergi ke sekolah.
"Saya sampai sekarang, sih, masih berusaha ngasih pengertian sama anak. Supaya dia, tuh, pergi ke sekolah dengan happy," kata dia.
Salah satu contoh nyatanya, Dita berencana untuk berkonsultasi dan berdiskusi dengan guru di sekolah. Maksud hati, ingin mencari solusi dari apa yang dialami Fano.
"Saya, tuh, pengin nanti guru bisa ngasih project buat Fano. Project yang memungkinkan Fano happy ke sekolah dan mungkin juga bisa dibikin berkelompok bareng teman-temannya," ujar Dita.
Menjadi orang tua dari 'bocah pandemi' memang bukan perkara mudah. Ada segudang 'peer' yang harus dikerjakan.
Namun, bukan berarti itu tak mungkin. Anak tetap bisa melewati proses tumbuh kembang dengan baik lewat berbagai usaha yang dilakukan orang tua.