Faktanya, kebaya atau busana yang memiliki kesamaan dengannya tak cuma ada di Indonesia. Beberapa negara lain seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura juga punya 'kebaya' sebagai bentuk produk budaya yang dilestarikan.
Bukan tanpa alasan, keberadaan busana serupa kebaya di negara-negara Asia berhubungan dengan perkembangan masyarakat dan perdagangan yang terjadi di masa lalu.
Diyakini, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunnan, China. Karena terdesak bangsa yang lebih kuat, orang Yunnan melarikan diri ke selatan. Hal inilah yang kemudian menghadirkan kemiripan unsur budaya di Asia, salah satunya bahasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak cuma itu, perdagangan yang marak kala itu juga menimbulkan kesamaan budaya di beberapa negara Asia. Kain, yang berasal dari Nusantara, dibawa oleh para pedagang dan tersebar ke sejumlah wilayah.
Setibanya di luar Nusantara, kain pun diolah menjadi busana yang memiliki kemiripan dengan kebaya, namun disesuaikan dengan budayanya masing-masing.
"Karena perdagangan, dari bangsa yang sama, menyebar dan tumbuh berkembang dengan alamnya masing-masing," katanya.
Pada akhirnya, masing-masing kebaya menemukan bentuknya sendiri, namun dengan sedikit kesamaan.
Di Indonesia, lanjut Suciati, kebaya berawal dari kemben yang disampirkan kain. Bukaan depan menjadi ciri khas kebaya Indonesia, dipadupadankan dengan kain batik sebagai bawahan.
Sementara Malaysia punya bentuk kebaya sendiri yang umumnya terbuat dari satu material antara atasan dan bawahan.
"Kesamaan atau kemiripan muncul akibat ada rasa kesamaan sebagai satu bangsa Asia," kata Suciati.
![]() |
Desainer Era Soekamto mengatakan, kebaya adalah representasi perempuan ideal Indonesia, lekat dengan budaya timur yang sopan, santun, dan beradab.
Kebaya pun mampu mencerminkan sensualitas berbeda. Seksi, kata dia, tak harus tampil terbuka dan bare skin di berbagai area tubuh.
Akibatnya, proses pembuatan kebaya dan jenis busana lain terbilang berbeda.
"Rasanya beda. Ada kekuatan [orang] Indonesia namanya linuwih, kebudayaan kita, cara berpikir kita," jelasnya.
Kebaya, lanjut dia, mungkin bentuknya cuma kutubaru yang terkesan klasik dan biasa. Namun, dengan sentuhan material berbeda, proses penyatuan potongan kain, sampai penyematan detail dengan jahitan tangan, semua memberikan nilai pada kebaya kutubaru.
Saat membuat kebaya, rasa yang terlibat dalam proses membuatnya mampu memberikan nilai keindahan lebih dari sekadar yang dilihat mata.
Meski kembali dilirik, masih ada pandangan-pandangan keliru atau salah kaprah seputar kebaya.
"Kebaya cuma dipakai di acara resmi, pernikahan, wisuda. Kebaya makin jarang dipakai," ujar Rahmi.
Kebaya juga kerap diberi cap sebagai busana yang ribet. Padahal, menurut Rahmi, selalu ada cara mengenakan kebaya praktis dan bisa dibawa beraktivitas sehari-hari.
Kain bawahan kebaya pun tak harus kain lembaran. Anda bisa mengenakan kain berjahit atau rok, lalu kain yang diberi tali atau didesain untuk langsung diikatkan.
Senada dengan Rahmi, Suciati menambahkan bahwa kebaya mengalami penyempitan kesempatan pemakaian. Kebaya seolah hanya digunakan khusus untuk acara penting.
"Kebaya dianggap baju kuno, enggak mengikuti perkembangan tren mode," katanya.
Padahal, penggunaan kebaya berikut bahannya bisa disesuaikan dengan aktivitas.
(asr)