Kami Jatuh di Satu Cinta, Tapi Tuhan yang Beda
Perkenalkan, nama saya Ayu yang sulit menikah dengan kekasih sendiri karena terhalang beda rumah ibadah dan restu orang tua.
Tiga hari lalu, saya membaca berita soal pasangan suami istri yang menikah beda agama. Pasangan itu diberi restu oleh negara lewat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mencatatkan pernikahan mereka di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat.
Sontak ada rasa haru, bahagia, dan sangat besar harapan yang muncul di benak saya.
"Wah bisa nih, akhirnya ada jalan juga." Saya kirimkan pesan singkat tersebut, berikut tautan berita pada kekasih saya, Albert namanya.
Lihat Juga : |
Kami adalah pasangan kekasih beda agama yang sudah menjalin hubungan kurang lebih 13 tahun. Ngebet nikah, tapi terbentur aturan negara, agama, dan tentu saja orang tua.
Usia kami tidak lagi muda. Albert yang notabene beragama Kristen akan menginjak usia 36 tahun di akhir September nanti. Sementara saya beragama Islam dan saat ini sudah berusia 32 hampir 33 tahun.
Kami berdua pertama kali bertemu di bangku kuliah. Beda jurusan dan fakultas, tapi satu organisasi karena sama-sama suka naik gunung.
Kalau ada yang bertanya kenapa kami pacaran padahal jelas tembok penghalangnya lebih tinggi dari menara di Dubai, jawabannya, ya, satu, karena kami saling cinta.
Memang siapa yang bisa memaksa dan menolak cinta? Toh, di awal hubungan kami juga tidak berpikir akan ke jenjang serius.
Tapi memang dasar nasib tiada yang tahu, setahun, dua tahun, tiga tahun, tiba-tiba kami sudah pacaran 13 tahun. Memang tidak ada yang mulus, apalagi kami beda agama. Dan kedua orang tua sama-sama menuntut agar menikah satu agama.
Tak ada larangan menikah dari mereka, asal salah satu dari kami ada yang ikut agama Islam atau Kristen.
Ibu saya ingin Albert masuk Islam, sementara papanya Albert ingin saya masuk Kristen. Buntu jalannya, sama-sama tidak ada yang mau mengalah.
Kalau kami berdua bagaimana? Kami hanya ingin menikah, beda agama pun tidak masalah, yang penting bisa hidup bersama.
Pernah suatu ketika, saya dan Albert menangis bersama, kira-kira itu di usia pacaran yang ke-8 tahun. Kejadian itu terjadi sekitar dua minggu setelah adiknya mengutarakan niat menikah lebih dulu.
Sebagai abang yang baik, Albert merestui dilangkahi adik perempuannya. Tapi dia mengaku pada saya bahwa hatinya terasa sakit, pacar ada, uang ada, tapi kok sulit sekali untuk menikah.
Lihat Juga : |
Secara finansial, kami berdua sangat mampu untuk menikah. Tabungan juga sudah lebih dari cukup, kami berdua juga memiliki pekerjaan yang sama-sama menjanjikan. Pemikiran pun kami rasa sudah sama-sama siap dan dewasa.
Penghalang hanya satu, Tuhan kami yang tidak sama itu.
"Kok, kita enggak bisa ya nikah? Padahal aku mampu, lho, nikahin kamu. Apa kita kawin lari saja?"
Hampir saja pernyataan Albert kala itu aku restui. Nikah, kawin lari di negara orang lalu tinggal di luar negeri jauh dari hiruk pikuk keluarga.
Tapi, ujung-ujungnya kami sama-sama tidak berani.
Mengutarakan keinginan pada orang tua masing-masing bukan sekali dua kali dilakukan. Jawabannya selalu sama. Boleh menikah asal satu agama.
Tentu, pada akhirnya tidak ada titik terang.
Ibu saya berkali-kali meminta agar saya mencari pria lain. Mungkin itu juga yang dilakukan orang tua Albert, meminta dia mencari wanita lain. Tapi, kami sama-sama tidak bisa.
Rasa klik, cocok, dan pas sudah tidak bisa diganti. Saya merasa nyaman dengan dia, sebaliknya dia juga nyaman dengan saya.
Pada akhirnya karena negara sudah memberi restu pernikahan beda agama, mungkin sudah waktunya kami mencoba kembali. Tinggal menunggu dan meminta restu orang tua yang masih sangat sulit didapat.
Cinta kami mungkin bisa direstui negara, tapi entah untuk restu dari orang tua.
(tst/asr)