Sementara para perempuan ini semakin berdaya, ada pihak lain yang dibuat 'ketar-ketir'. Wiwi mengaku, ada saja gesekan dengan para pembeli atau pengepul kopi sebab petani tidak lagi bisa diperdaya dengan harga beli murah.
"[Pembeli bilang] aku tuh rugi, kamu siapa sih kok berani-beraninya ngajarin?" kenang Wiwi.
Wiwi dan rekan komunitas pun kerap disiram aneka sumpah serapah dari para pembeli kopi. Saat pandemi, mereka pun seolah bersorak karena komunitas kesulitan menjual kopi dan kehabisan modal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya saja, kondisi ini tidak berlangsung lama. Situasi pandemi yang perlahan membaik turut membuat iklim penjualan kopi membaik pula. Kopi-kopi terjual habis, bahkan sempat kekurangan suplai.
Lihat Juga : |
Kopi Arabika dan Robusta dari Lady Farmer Coffee Roastery sudah menyuplai kedai-kedai kopi di Banjarnegara dan sekitarnya.
Meski begitu, perjalanannya juga tidak mudah. Kopi sempat ditolak hanya karena dihasilkan dari tangan-tangan perempuan.
"Kalau aku lihat, mereka menganggap perempuan belum bisa proses [menghasilkan] kopi yang konsisten [dari segi kualitas]. Kami membuktikan lewat ikut beberapa festival kopi, mereka mulai [melirik], oh ternyata enak," ujarnya sumringah.
![]() |
Perjalanan selama kurang lebih enam tahun membuahkan perubahan berarti bagi para perempuan pelaku industri kopi. Wiwi melihat dari sisi ekonomi, petani perempuan tahu cara menghasilkan kopi berkualitas dan standar harga kopi pasaran.
Buruh perempuan paham akan sistem upah. Mereka bisa menentukan harga jasa mereka disesuaikan dengan medan kebun. Upah Rp2 ribu jelas tidak berlaku buat mereka.
Belum lagi, menjamurnya kedai kopi kekinian membantu penyerapan hasil panen para petani.
"Adanya minuman kopi yang banyak banget itu, di kami juga banyak sekali pesanan, minta dikirim segini, segini. Kami jadi semangat merawat kopi," ujar Wiwi.
Pembeli bisa memesan biji kopi, baik dalam kondisi sudah dipanggang (roasting) maupun biji mentah (green beans). Di kediaman Wiwi, di Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, biji-biji kopi dipanggang sesuai pesanan.
Di samping menyuplai kedai kopi, komunitas juga menyuplai perusahaan. Otomatis, pesanan tak lagi dalam hitungan kilogram, tetapi kwintal.
Rasanya, capaian para perempuan ini begitu luar biasa. Namun, Wiwi tetap menyelipkan harap bahwa perempuan tak lagi dipandang remeh saat terjun ke dunia kopi.
"Industri perkopian itu banyak. Enggak cuma petani, roastery, barista, hulu dan hilir berkesinambungan. Jangan pernah memandang sebelah mata buat kaum perempuan yang masuk dunia kopi," pungkasnya.
(asr)