Jakarta, CNN Indonesia -- Adanya anggapan film Indonesia ‘terjajah’ oleh film asing di negeri sendiri ternyata tidak menyurutkan gairah sineas tanah air berkarya. Hal tersebut terbukti dengan adanya film berkualitas karya anak bangsa yang dapat bersaing dengan film-film asing, khususnya film Hollywood.
Contohnya, lima film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak periode 2007-2014 (berdasarkan data dari https://filmindonesia.or.id), yaitu:
Laskar Pelangi (2008) sebanyak 4.631.841 penonton,
Habibie & Ainun (2012) sebanyak 4.488.889 penonton,
Ayat-ayat Cinta (2008) sebanyak 3.581.947 penonton,
Ketika Cinta Bertasbih(2009) sebanyak 3.100.906 penonton, dan
5 cm (2012) sebanyak 2.392.210 penonton.
Film-film lokal ini dapat menyaingi film-film Hollywood yang masuk ke Indonesia. Sutradara seperti Riri Riza, Hanung Bramantyo, Garin Nugroho, Nia Dinata dan Rizal Mantovani pun harum namanya sebagai sutradara berkualitas tinggi yang tidak asal menggarap film.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tidak mau film saya hanya sebagai pemberi pesan moral, tetapi juga membuat orang bertanya-tanya," ujar Riri kepada CNN Indonesia, Jakarta, Senin (25/8).
Meski telah berhasil dengan film-filmnya, sutradara sekaligus produser Riri Riza beranggapan film Indonesia masih kalah kompetitif dibandingkan film asing. Faktor yang menyebabkan mencakup lemahnya sumber daya manusia Indonesia, miskinnya keragaman cerita, serta kurang canggihnya teknologi yang dipakai di industri perfilman Indonesia.
"Misalnya, film Indonesia main di Teater dua, film Amerika di Teater satu, dengan harga tiket yang sama. Namun, film yang dibuat di Teater satu dibuat dengan biaya US$ 200 juta (sekitar Rp 2,3 triliun), sedangkan film Indonesia hanya Rp 5 miliar," kata Riri memberi contoh.
Menurutnya, masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda akan lebih tertarik menonton film Amerika yang berbiaya produksi tinggi tersebut.
Agar dapat bersaing dengan film Hollywood, Riri mengatakan film Indonesia harus mengikuti pola tontonan Hollywood. Pola tontonan tersebut misalnya dengan dihadirkannya tokoh rupawan, mengalami petualangan-petualangan seru, dan kemudian akhirnya menang.
"Itu yang istilahnya tipe film yang nyaman untuk ditonton di Indonesia dan membentuk budaya menonton orang Indonesia," ujar Riri.
Namun, pria lulusan Institut Kesenian Jakarta ini memutuskan untuk tidak selalu mengikuti 'aturan' tersebut. Riri juga memasukkan unsur kearifan lokal, salah satunya dengan menggunakan bahasa daerah di film-filmnya.
"Film saya juga saya pikirkan untuk bisa dinikmati bukan hanya oleh orang Indonesia yang tinggal di kota, tetapi juga orang Indonesia yang tinggal di pedesaan," kata ayah dari dua anak ini.
Keteguhan tersebut tampaknya dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, terlihat dari larisnya film yang digarap Riri. "Bisa diterima tetapi harus dengan cara-cara yang strategis dan pandai," katanya.
Riri berpendapat sineas tanah air harus benar-benar bagus untuk dapat bersaing dengan sineas Hollywood. Hal tersebut misalnya dilihat dari naskah cerita yang terus terang dan sederhana. Penonton diharapkan dapat mengerti ide cerita dalam lima menit, kemudian menyelami sendiri.
"Terbukti ada banyak film Indonesia yang lebih sukses daripada film Hollywood. Misalnya, film dengan biaya besar seperti Transformer masih bisa bersaing ketat dengan film seperti
Habibie & Ainun,” ucap Riri.
Pola Menonton Indonesia Mengikuti AmerikaDiakui oleh Riri, budaya menonton di Indonesia mengarah ke Hollywood. Gaya pemutaran film, pola duduk, serta pola membeli tiket persis seperti di Amerika. Hal ini berbeda dengan tahun 70-an atau 80-an, di mana bioskop bukan hanya ada di mal-mal, melainkan juga di pasar-pasar.
"Misalnya, dulu di Kebayoran Baru ada Bioskop Adi, yang dekat dengan Pasar Blok A, Bioskop Wira di Tebet, dan Bioskop Jaya di Bukit Duri," ujar Riri. Sekarang, sudah tidak ada lagi sehingga masyarakat yang ingin menonton film harus ke mal.
Hal tersebut menyebabkan bioskop di Indonesia pun dibuat untuk mengakomodasi film Amerika, mulai dari kerjasama ekonomi, sistem-sistem dan spesifikasi yang ditentukan oleh film Hollywood.
"Secara statistik saja, film yang diimpor ke Indonesia mencapai lebih dari 200 film per tahun, sedangkan film Indonesia yang diproduksi hanya sekitar 80," ujar Riri menjelaskan. Hal inilah yang membuat bioskop memberikan porsi lebih kepada film-film Hollywood.
Menurut pria yang memproduseri film Pendekar Tongkat Emas ini, tidak adanya kebijakan kebudayaan membuat bioskop di Indonesia tidak mengedepankan film Indonesia. Bioskop selayaknya toko yang mencari keuntungan sebesar-besarnya.
"Kalau di Prancis, semua film yang sukses harus menyumbang ke pusat kebudayaan film di supaya bisa dipakai mendanai film-film yang memang sedari awal dipahami bukan bertujuan komersial," kata Riri.
Riri juga menjelaskan bahwa pasar penonton bioskop di dunia adalah orang yang berusia 16-23 tahun sehingga film yang paling laku adalah film yang diminati masyarakat dalam golongan tersebut.
"Dalam sebulan, mereka bisa menonton bioskop sampai empat kali, sementara masyarakat di luar golongan usia tersebut mungkin hanya sekali dalam sebulan," ujar Riri kemudian mengakhiri pembicaraan.