Jakarta, CNN Indonesia -- Menonton film kini menjadi pilihan masyarakat urban untuk mendapat hiburan atau mengisi akhir pekan. Sayang, pilihan film Indonesia di layar lebar tidak selalu ramai. Film-film asing lebih menggempur.
Bahkan, bisa jadi film Indonesia bukan tuan rumah di negerinya sendiri. Peminatnya pun merosot.
Pekan ini saja, hanya ada empat pilihan film Indonesia di jaringan bioskop 21. Jumlah itu jauh jika dibandingkan dengan film asing yang mencapai sembilan pilihan. Beberapa di antaranya bahkan memuncaki Box Office Amerika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Film-film itulah lebih dipilih masyarakat. Mereka merasa, mengeluarkan uang untuk menonton film asing di bioskop lebih layak daripada hanya mendapat suguhan karya anak negeri sendiri.
Namun, Ario Sagantoro produser film
Merantau,
The Raid, dan The Raid 2: Berandal menolak film Indonesia disebut sepi peminat. Katanya, perfilman Indonesia memang didominasi asing. Tapi, tetap ada pasar untuk film lokal.
Saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (25/8) Toro menuturkan, ketika
The Raid 2: Berandal muncul sekitar awal tahun lalu, secara total film itu masih ditonton sekitar 1,5 juta masyarakat Indonesia. Film sutradara Gareth Evans itu bahkan sempat berada empat sampai enam minggu di layar bioskop dalam negeri.
“Saat itu kita bersaing dengan
Spiderman,
Captain America, dan 11 film nasional,” katanya menyebutkan.
Menurut Toro, film Indonesia bisa saja meraja di tanahnya sendiri. Hanya diperlukan kualitas yang konsisten. Ia melihat, saat ini banyak sineas berminat membuat film, namun hanya sekadar euforia.
“Kalau begitu terus, lama-lama bisa hilang minat,” tuturnya. Sebab, pencinta film bisa mengukur sendiri kualitas karya yang akan ditontonnya. Ada yang kelas televisi, ada pula yang memang berkualitas untuk ukuran layar lebar.
Masalahnya, lanjut Toro, film yang berkualitas pun tak selalu bisa meraup banyak penonton. Menurutnya, film kelas festival yang menang di ranah internasional pun bisa tidak ditonton masyarakat. Ukuran film layak tonton, tidak selalu sama.
“Selera masyarakat tidak bisa ditebak. Sampai sekarang enggak ada formulanya,” ia berujar.
Saat ini misalnya, berdasarkan pengamatan Toro, masyarakat sedang meminati film berbumbu religi. Drama percintaan juga masih diminati, asal kisahnya membumi dan tidak meniru. “Yang tidak ada itu film heroik, local hero, idola anak-anak, pahlawan. Itu masih jarang,” kata Toro.
Karena itu, produser dan sutradara harus bisa mengukur sendiri kualitasnya. “Yang penting bikin yang terbaik. Ide yang unik dan orisinal. Jangan mengikuti selera pasar atau kejar tayang,” ia menyarankan.