Jakarta, CNN Indonesia -- Selama ini masyarakat menganggap nasib film Indonesia tergantung pada para sineas. Mereka lah sosok di balik penciptaan film, yang bisa mengatur jalan cerita dan kualitas karyanya.
Maka bila ada ironi dalam film Indonesia seperti hari ini, di mana peminat film asing lebih banyak ketimbang film lokal, lagi-lagi produser atau sutradara disalahkan. Film Indonesia dianggap kalah soal kualitas, baik jalan cerita, gambar, maupun akting.
Namun bagi Meiske Taurisia, produser film independen, rumus itu tidak berlaku. Ditemui di kantor Lembaga Sensor Film, Jakarta, Senin (25/8), Mieske menegaskan rantai industri film Indonesia juga harus disorot.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Harus kita lihat rantainya, jalan enggak?” katanya pada CNN Indonesia. Jika hanya meributkan soal sineas, industri film tidak akan pernah jadi. Sebab, masih banyak tangan lain yang seharusnya ikut andil.
“Buat saya, Indonesia enggak punya industri film. Indonesia masih butik, toko kelontong. Gue ada duit, jualan lah film,” katanya tegas. Seharusnya, industri film dimainkan banyak pelaku, seperti produser, distributor, penyimpan arsip, edukator, juga masyarakat dan pemerintah.
Di mata Meiske, semua lini bertanggung jawab. Namun yang terjadi saat ini adalah ketimpangan. Banyak mata rantai yang lepas sendiri-sendiri. Misalnya, Meiske tidak melihat adanya distributor dan pengarsip film di Indonesia.
“Dulu sekitar tahun 1980-an masih ada distributor. Bioskop dulu ada tiga ribuan, sekarang cuma 700-an. Palu enggak ada bioskop, Lombok saja enggak punya,” katanya lagi.
Pengarsip film seperti Sinematek dan ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), tidak terlalu berperan. Edukator hanya ada sejumput, seperti Institut Kesenian Jakarta, Bina Nusantara, dan Universitas Multimedia Nusantara.
Kurangnya dukungan di masing-masing rantai itulah yang menurut Meiske melambatkan perkembangan industri film nasional. Menembus pasar domestik saja susah, apalagi internasional.
Ke Asia Tenggara saja, Indonesia masih kesulitan. Sementara Indonesia diserbu film Thailand, sebaliknya tidak ada film dalam negeri yang diekspor ke sana. Dunia film di Indonesia ia masih dianggap sektor yang kurang penting.
“Film itu dianggap kebutuhan tersier. Yang sekunder saja masih susah diekspor, bagaimana yang lebih tidak krusial lagi?” lanjut Meiske berseloroh. Itulah pentingnya sektor-sektor pendukung di industri film, seperti distributor.