REPUBLIK CANGIK

Obrolan Politik versi Teater Koma

CNN Indonesia
Selasa, 04 Nov 2014 12:30 WIB
Lewat lakon Republik Cangik, Teater Koma mengangkat tema politik dan perempuan. Siap dipentaskan pekan mendatang di Gedung Kesenian Jakarta.
Teater Koma siap mementaskan "Republik Cangik" (13-22/11) di GKJ. (CNN Indonesia/Yohannie Linggasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Forum serius bukan satu-satunya cara mendiskusikan kondisi politik bangsa. Seni teater pun bisa menjadi panggungnya. Teater Koma sering mengangkat tema politik dalam pementasannya.

Pentas terbarunya berjudul Republik Cangik. Pembahasannya berkisar antara politik dan perempuan. Selain itu, ada pula pementasan Republik Bagong dan Republik Togog.

Melalui tiga cerita itu, penulis naskah serta sutradara Nano Riantiarno ingin menggelitik para penonton. Sebab ketiganya berkaitan dengan situasi politik bangsa Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diakui Ketua Badan Perfilman Indonesia Alex Komang, teater bukan semata-mata soal panggung. Itu juga soal diskusi dan perdebatan panjang.

"Produknya tidak bisa dilepaskan dari situasi politik sekarang. Sebuah pementasan merupakan sumbangsih para seniman untuk jadi pemikiran bersama," kata Alex saat konferensi pers Republik Cangik di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (3/11).

Ia menyayangkan banyaknya program televisi yang tidak mendidik dewasa ini. Tradisi teater pun tak ada di dalamnya. "Saat ini, masyarakat disesatkan oleh program televisi," katanya.

Senada dengan Alex, Nano mengakui stasiun televisi memang belum memikirkan teater, alih-alih membuat produk teater yang berkualitas. Sekalipun ada, permintaannya mengada-ada.

"Mereka minta saya buat dalam dua hari, mana bisa? Saya tolak karena hasilnya pasti jelek," kata Nano. “Seniman paling piawai sekalipun tidak akan sanggup membuat karya bermutu dalam waktu dua hari.”

"Pembuatan 13 episode Games of Thrones memakan waktu satu tahun. Hasilnya ternyata bagus karena skenarionya didiskusikan secara mendalam," kata Nano. Ia menambahkan, "Bila mereka mau melakukannya karena mudah mendapatkan uang, silakan. Tetapi saya tidak mau begitu."

Nano berpendapat, teater seharusnya masuk dalam kurikulum sekolah. Dengan begitu, dari usia sedini mungkin masyarakat bisa mengapresiasi seni teater.

"Di Inggris, karya Shakespeare disesuaikan untuk anak sekolah mulai dari SD sampai SMA sehingga mereka mengenal seniman bangsanya. Dan orang Amerika  tidak pernah nonton Broadway cum sekali," ujarnya.

Alex menambahkan, kurikulum teater untuk sekolah bisa ditiru Indonesia dari Korea Selatan. Karena itu, ia juga menggarisbawahi pentingnya peran pemerintah dalam mendukung itu.

Di sisi lain, Ratna Riantiarno dari Teater Koma menyayangkan banyaknya pekerja teater yang terkadang tidak punya kesempatan menonton teater. Begitu pula dengan para guru.

"Banyak di antara mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di gedung pertunjukkan di Jakarta, seperti Taman Ismail Marzuki atau Gedung Kesenian Jakarta," katanya.

Perjuangan Panjang Menjemput Bola

Untuk menghidupkan teater, Ratna pernah mencoba banyak hal. Salah satunya, jemput bola. "Awalnya, kami mengajak orang nonton teater dengan cara mulut ke mulut. Kami harus menjemput bola," kata Ratna mengenang masa lalu.

Usia Teater Koma sendiri telah menginjak 37 tahun. Sepanjang hidupnya tidak mulus. Penuh perjuangan dan penolakan. "Dulu, bisa mengajak dua sampai sepuluh orang saja rasanya sudah sangat bagus," kata Nano menambahkan.

Nano mengingat kembali usahanya pada 1977. "Saat itu saya tulis dua skenario untuk produksi panggung dan membuat 100 proposal untuk ditawarkan ke berbagai perusahaan. Dan semuanya menolak," ujarnya dibarengi tawa.

Meski dana terbatas, Teater Koma tidak patah asa. Menurut Ratna, loyalitas dan kerja keras jadi kunci para seniman untuk terus bertahan. "Mereka semua punya pekerjaan lain, tetapi tetap menyempatkan diri latihan bersama Teater Koma," kata Ratna mengakhiri pembicaraan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER