Jakarta, CNN Indonesia -- Menonton film pendek bisa jadi pengalaman tak biasa. Sensasinya berbeda dengan menonton film panjang. Bagi Anda yang mudah jenuh bila menonton terlalu lama, mungkin film pendek menjadi alternatif menarik yang patut dicoba.
Tak banyak memang film pendek yang terkenal di jagat hiburan Indonesia. Namun tak sedikit yang memiliki kualitas dan patut diapresiasi.
Sayang, akses menontonnya masih sulit. Ia tak seperti film panjang yang bisa disaksikan dengan mudah di layar lebar. Selama 18 hingga 22 Maret 2015, ada kesempatan langka menyaksikan film-film pendek terbaik di bioskop, dalam rangka XXI Short Film Festival.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu film pendek dari kategori animasi yang patut dilihat adalah Ngejer Sari karya Bonny Bimapoetra. Lulusan Desain Komunikasi Visual Universitas Bina Nusantara itu membuktikan bahwa anak muda Indonesia pun sanggup membuat film animasi jempolan.
Gerakannya mulus, tidak patah-patah. Efek geraknya juga tidak terlalu memaksa. Karyanya membangkitkan optimisme anak negeri. Karya animasi bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri.
Dengan cerita sederhana mengenai persaingan dua sopir bajaj memperebutkan calon pelanggan cantik, Bonny sanggup membuat penonton menyunggingkan senyum. Imajinasi liarnya tentang bajaj modifikasi adalah ide segar dan unik. Meski terkesan liar dan tidak logis, namun cukup menjadi bahan canda yang segar.
Kepiawaian Bonny menyusun cerita pun cukup baik. Meski begitu, Bonny masih harus banyak menyesuaikan antara suara latar dengan kejadian serta kenyamanan penonton dalam menikmati karya yang hanya berdurasi kisaran lima menit.
Volume beberapa lagu latar terlalu keras, sehingga membuat keasyikan menonton persaingan para sopir bajaj menjadi cukup terganggu.
Film lain yang juga menyemarakkan XXI Short Film Festival adalah Digdaya Ing Bebaya (of the Dancing Leaves). Digdaya ing bebaya sendiri merupakan frasa bahasa Jawa yang bermakna mempunyai kekuatan dalam menghadapi bahaya.
Film dokumenter berdurasi 15 menit itu merupakan karya sutradara film pendek paling produktif dan berpengalaman, BW Purba Negara. Filmnya membawa hikmah kehidupan.
Purba mencoba memotret kehidupan warga lereng Gunung Merapi Yogyakarta selepas erupsi hebat yang terjadi pada 2010 lalu. Erupsi itu salah satu yang paling ganas dalam seabad terkahir.
Warga lereng Merapi yang diwakilkan oleh tiga nenek renta. Meski lanjut usia, mereka tetap giat mencari daun pegagan guna dibuat jamu. Mereka juga mencari pangan lain di kebun, meski kehidupannya kerap kali terisi ancaman lahar dari gunung api teraktif di Indonesia.
Purba bukan hanya menggambarkan bagaimana kuatnya para warga bertahan hidup berdampingan dengan kematian dan bencana yang mengancam sewaktu-waktu. Filmnya juga menggambarkan kuatnya ketergantungan manusia terhadap alam.
Manusia kerap kali alpa menghargai serta merawat alam, padahal mereka lah yang membutuhkan alam guna keberlangsungan hidupnya. Kesetiaan para warga untuk tetap menjaga alam dan menghargai kehidupan, patut menjadi refleksi bagi manusia yang rakus akan dunia.
Purba menunjukkan dirinya adalah pembuat film pendek yang mahir. Ia sanggup membuat alur cerita tak biasa, dan memiliki pesan yang mengena serta unsur dramatisasi yang pas.
Namun, Purba hanya menyediakan bahasa Jawa sebagai pengantar dan bahasa Inggris sebagai terjemahan untuk film pendeknya yang unik.
Film lainnya adalah Lemantun. Kisah sedih sudah mewarnai pembukaan film karya Wregas Bhanuteja itu. Film diawali adegan seorang ibu yang bersiap memberi warisan kepada lima anaknya.
Lemantun boleh jadi sekadar tugas akhir Wregas di Institut Kesenian Jakarta. Namun, ia ternyata tidak membuatnya setengah-setengah.
Berbekal skrip dialog yang ringan, kekeluargaan, serta akrab, ia sukses membuat penonton tidak beranjak selama 15 menit pemutaran film. Skenario dan ceritanya diwarnai canda yang berbaur dengan haru.
Warisan sang ibunda yang hanya berupa lemari, mungkin membuat penonton bingung karena tidak menggambarkan maksud Wrega secara gamblang. Namun, di situlah letak filosofis dari filmnya.
"Lemari itu ibarat rahim sang ibu. Kadang kita merasakan ingin kembali ke masa kecil di saat tidak perlu khawatir akan menjalani hidup, sama seperti kadang ingin kembali kepada ibu kita karena pada ibu kitalah kita menemukan ketenangan," kata Wrega kepada CNN Indonesia usai rilis film pendeknya di XXI Short Film Festival, Epicentrum, Jakarta, Rabu (18/3).
Wrega memfilmkan kisah yang terinspirasi dari kejadian nyata tersebut dengan cukup baik. Semua emosi muncul secara pas, membuat film itu tepat dibilang menyentuh, tapi tidak cengeng.
Alumnus IKJ yang baru saja menjadi delegasi Indonesia dalam International Berlin Film Festival atau Berlinale lalu itu menggambarkan perspektifnya mengenai film pendek yang berasal dari kisah sehari-hari, namun memiliki filosofi yang dalam dan ditunjukkan secara tersirat.