Film lain yang juga menyemarakkan XXI Short Film Festival adalah
Digdaya Ing Bebaya (of the Dancing Leaves).
Digdaya ing bebaya sendiri merupakan frasa bahasa Jawa yang bermakna mempunyai kekuatan dalam menghadapi bahaya.
Film dokumenter berdurasi 15 menit itu merupakan karya sutradara film pendek paling produktif dan berpengalaman, BW Purba Negara. Filmnya membawa hikmah kehidupan.
Purba mencoba memotret kehidupan warga lereng Gunung Merapi Yogyakarta selepas erupsi hebat yang terjadi pada 2010 lalu. Erupsi itu salah satu yang paling ganas dalam seabad terkahir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga lereng Merapi yang diwakilkan oleh tiga nenek renta. Meski lanjut usia, mereka tetap giat mencari daun pegagan guna dibuat jamu. Mereka juga mencari pangan lain di kebun, meski kehidupannya kerap kali terisi ancaman lahar dari gunung api teraktif di Indonesia.
Purba bukan hanya menggambarkan bagaimana kuatnya para warga bertahan hidup berdampingan dengan kematian dan bencana yang mengancam sewaktu-waktu. Filmnya juga menggambarkan kuatnya ketergantungan manusia terhadap alam.
Manusia kerap kali alpa menghargai serta merawat alam, padahal mereka lah yang membutuhkan alam guna keberlangsungan hidupnya. Kesetiaan para warga untuk tetap menjaga alam dan menghargai kehidupan, patut menjadi refleksi bagi manusia yang rakus akan dunia.
Purba menunjukkan dirinya adalah pembuat film pendek yang mahir. Ia sanggup membuat alur cerita tak biasa, dan memiliki pesan yang mengena serta unsur dramatisasi yang pas.
Namun, Purba hanya menyediakan bahasa Jawa sebagai pengantar dan bahasa Inggris sebagai terjemahan untuk film pendeknya yang unik.