Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika beragam perbedaan melebur menjadi satu. Ketika segala identitas ras, agama, dan budaya tak membatasi gerak masyarakat. Ketika itulah semboyan Bhinneka Tunggal Ika terasa melekat di hati.
Dalam konteks kesenian, pesan kebinekaan dapat dirangkum ke dalam pertunjukan menarik, sebagaimana disajikan di pelataran depan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, beberpa waktu lau xc.
Di bawah terik matahari yang sudah menjadi makanan sehari-hari warga Ibu Kota, sejumlah aktivis PapuaItuKita menampilkan wajah Papua lewat acara bertemakan
Sehari Bercerita, Bernyanyi, dan Menari untuk Papua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diawali dengan ritual bakar batu, yang menggambarkan sikap gotong royong, kekeluargaan, hingga dianggap sebagai lambang perdamaian, warga Jakarta disodorkan wajah Papua yang berbeda.
"Tradisi (bakar batu) itu merupakan tradisi yang menggambarkan kekeluargaan. Masyarakat lokal Papua masih sering melakukan itu. Bergotong-royong untuk kenikmatan bersama-sama," ujar salah satu pengunjung asal Papua yang menolak disebutkan namanya.
Ia menambahkan, "Batu yang digunakan merupakan jenis batu tertentu, yang tidak hancur dibakar bara api."
Unik memang, ritual bakar batu ini membuat antusiasme para pengunjung meningkat. Serentak mereka mendekati bara api, meski teriknya matahari dan panasnya api membuat banyak orang bermandikan keringat.
Namun, semuanya tertarik untuk melihat salah satu budaya Papua tersebut. Tanpa memedulikan panas, perbedaan warna kulit, agama, ras, dan budaya. Para pengunjung melebur jadi satu.
Meski mewadahi sebuah acara pengenalan kultur Papua di jantung Ibu Kota, acara ini sendiri dilandaskan pada stigma negatif yang masih melekat di salah satu bagian dari negeri ini. Permasalahan PT Freeport, konflik antar etnis, hingga budaya kekerasan masih terasa melekat di benak banyak orang ketika membicarakan Papua.
Hal itulah yang coba dijembatani aktivis PapuaItuKita, yaitu untuk menyodorkan sisi lain Papua yang luput dari perhatian warga Ibu Kota. "PapuaItuKita adalah gerakan yang hendak meningkatkan kesadaran publik Indonesia tentang berbagai persoalan sosial budaya dan politik ekonomi di Papua," kata Zely Ariane, salah satu aktivis PapuaItuKita. Dan usaha tersebut tersampaikan lewat sebuah perkenalan budaya Papua ke mata warga Indonesia yang seringkali tak mengenal saudara sebangsa kita sendiri.
"Saya hanya mengenal alamnya. Alam lautnya. Seperti di Raja Ampat 'kan bagus buat snorkeling," ujar Elisa, salah satu pengunjung yang ditemui CNN Indonesia. Namun stereotip yang digambarkan PapuaItuKita tampaknya tak melekat di benak sejumlah pengunjung, yang justru tak melulu mengidentikkan Papua dengan konflik. "Enggak takut sih, biasa saja," ujar Yuliani, pengunjung lain yang ditanya tentang pendapat mereka terhadap orang Papua. "Mereka bahkan lebih welcome. Lebih ramah dibandingkan orang Jakarta." Dalam acara yang dimeriahkan oleh sejumlah musisi dan penari seperti Inyarme Papua, Bengkel Budaya Papua, Ipmanapandode Papua, SIMPONI, John Tobing, Sanggar Ciliwung, Last Scientist, Sisir Tanah, dan Es Coretz itu sendiri terus berlanjut hingga sorot sinar matahari meredup. Menjelang malam, sajian budaya dari Papua masih terus disajikan kepada warga Jakarta, yang meramaikan pelataran parkir TIM.
Namun tak dapat dimungkiri, salah satu momen paling menggugah dalam acara ini, terjadi ketika salah satu aktris Ibu Kota, Melanie Subono, angkat bicara tentang perbedaan. "Ketika ditanya gue orang apa, gue enggak bilang orang Jawa atau lainnya. Gue akan bilang gue orang Indonesia," ujar Melanie. "Jadi gue merasa Papua itu kita. Kita itu enggak ada bedanya, kok, hanya kota dan tempat tinggalnya saja yang berbeda-beda."
Kini perbedaan itu sendiri memang ada dan kita harus menerimanya, serta menyadari perbedaan itulah yang memperkaya entitas kita sebagai manusia. Sejumlah aktivis Papua telah berani menantang stigma warga Ibu Kota terhadap diri mereka, untuk membebaskan belenggu pandangan negatif, yang terkadang kita miliki kepada saudara satu bangsa sendiri.
Namun pertanyaan besar yang muncul adalah apakah warga Indonesia sudah cukup dewasa untuk akhirnya menerima perbedaan? Sebuah pekerjaan rumah yang terus menerus berlanjut di negara yang kaya dengan berbagai agama, ras, dan budaya ini.