Jakarta, CNN Indonesia -- Penonton serial televisi
Si Doel Anak Sekolahan pasti sudah tak asing dengan rumah tempat Doel dan Nyak, Babe, Engkong, atau Mandra dan Atun biasa bercengkerama. Bangunan tersebut merupakan rumah adat khas Betawi.
Rumah menyambut tamu dengan tiga anak tangga yang mengantar memasuki teras. Sekeliling teras itu dipagari kayu dengan ukiran khas. Terdapat satu meja kecil dengan beberapa kursi bulat di salah satu sudut. Di sudut lain, ada satu papan tidur besar yang disebut
bale-bale.
Hingga kini, rumah seperti milik Doel itu masih dapat dijumpai di beberapa sudut Jakarta, salah satunya di Setu Babakan. Namun, tak banyak orang yang mengetahui filosofi di balik tata ruang rumah Betawi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu anggota Komite Kesenian dan Pemasaran Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Indra Sutisna mengatakan pada CNN Indonesia, rumah adat Betawi ternyata sedikit dipengaruhi Belanda.
"Bangunannya agak trap. Saat masuk bagian depan ada balak suji yang merupakan tangga dengan tiga tahapan. Ini berarti masuk rumah enggak bisa asal, langsung tiba-tiba, harus ada persiapan," ujar Indra yang ditemui CNN Indonesia di Setu Babakan, Sabtu (20/6).
Setelah meniti anak tangga, padasan air wudu dan gentong minum menyambut. Di titik inilah pemilik melakukan persiapan lebih dalam untuk masuk rumah: pembersihan fisik dan mental.
Setelah membersihkan diri, baru boleh melewati batas langkan yang mengelilingi teras rumah. Pembatas ini biasanya terbuat dari kayu-kayu dengan pahatan berbentuk manusia. "Ini menandakan rumah ada yang punya, ada orang, datangnya jangan dari belakang, samping rumah, tapi datang dari depan," kata Indra.
 Teras rumah Betawi. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
Usai langkan, baru sampai di teras. Seperti rumah Si Doel, di salah satu sisi terdapat kursi dan meja untuk menerima tamu. Di sisi lain, biasanya terdapat
bale-bale yang terbuat dari papan dengan empat tumpuan di bawahnya, seperti tempat tidur tanpa kasur.
Dahulu,
bale-bale biasa digunakan untuk bersantai keluarga atau anak-anak belajar mengaji. Namun, warga tak akan heran jika ada orang asing yang berbaring di
bale-bale.
"Ada musafir kemalaman mau tidur, dia kan enggak mungkin tidur di dalam. Di mana dia tidur? Oh, ada
bale-bale," tutur Indra.
 Bale-bale di teras rumah adat Betawi. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
Menurut Indra, masyarakat Betawi memang sangat suka bersosialisasi. Namun, mereka juga membutuhkan ruang privasi. "Ada ruang sosial untuk berbagi dengan masyarakat, ada juga ruang sosial untuk keluarga," katanya.
Jika ruang tamu adalah tempat bagi pendatang bahkan musafir, begitu masuk pintu rumah, ruang di dalamnya adalah tempat warga Betawi bersosialisasi dengan keluarganya sendiri. Lorong lurus akan menyambut dengan ruang kosong di tengahnya. Biasanya, tempat ini digunakan untuk makan dan bercengkerama.
Di sebelah kanan, terdapat ruang-ruang kamar tidur. Dapur ada di bagian belakang rumah.
 Ruang tamu di teras rumah Betawi. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
Meski tertutup dari luar, bukan berarti bagian inti rumah tidak dapat dijadikan tempat perhelatan besar. "Dulu kalau mau ada hajatan, resepsi, khitanan, pengantin sunat adanya di dalam, bukan di luar. Kalau sekarang pengantin di luar. Itu tabu zaman dulu," ujar Indra.
Secara keseluruhan, rumah adat Betawi terbilang tinggi, mencapai 30-50 centimeter dari permukaan tanah. Ada juga rumah Betawi di pesisir yang lebih tinggi lagi, mencapai 1,5 meter. "Pertama, menghindari air laut. Kedua, menaruh perahu di bawah," Indra menuturkan.
Meski berbeda bentuk, satu hal yang pasti sama dari rumah adat Betawi di mana pun. "Ada ruang untuk sosialisasi dengan masyarakat di depan dan ruang sosialisasi untuk keluarga di dalam. Intinya, masyarakat Betawi sangat suka bersosialisasi," ujar Indra menegaskan.
Salah satu bukti, pengunjung boleh minta air minum sesukanya. "Orang Betawi tidak pernah memikirkan
style. Kami hanya memikirkan fungsi sosial. Itu orang lewat depan rumahnya, boleh minum air dari depan rumahnya. Numpang cuci kaki juga biasa di masyarakat Betawi, masyarakat yang
welcome," tutur Indra.
(rsa/rsa)