Jakarta, CNN Indonesia -- Serbuan film-film Hollywood di Indonesia makin gencar. Apalagi belakangan ini studio film di Amerika Serikat (AS) juga merilis film-filmnya lebih awal di Indonesia dan negara-negara lain ketimbang di AS.
Begitu pula film-film Bollywood dan Korea Selatan atau K-movie berlomba mewarnai layar bioskop di Tanah Air. Sebagai alternatif tontonan, hal ini menggembirakan. Namun di sisi lain membuat film-film Indonesia sulit unjuk gigi di kandang sendiri.
Padahal industri perfilman Indonesia sudah bergeliat sejak era 1950-an. Namun hingga kini, hanya segelintir saja film Indonesia yang sanggup mendunia. Bandingkan dengan kemajuan industri perfilman Korea atau India yang begitu pesat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak ingin karut marut industri perfilman di Indonesia makin berlarut-larut, anggota Komisi X DPR Venna Melinda memprakarsai kaukus atau pertemuan tertutup antartokoh partai politik untuk merencanakan strategi, kebijakan, ataupun program.
Kaukus bertema Anti Pembajakan dan Penegakan Hak Cipta Bidang Perfilman ini juga dihadiri perwakilan insan perfilman. Diadakan di ruang rapat Partai Demokrat, Gedung Nusantara 1, Kompleks DPR-MPR Senayan, Jakarta, baru-baru ini.
"Alhamdulillah bisa mengumpulkan dari industri film Indonesia untuk bisa mendukung kaukus anti pembajakan dan penegakan HAKI. Hari ini sama-sama
brainstroming. Banyak permasalahan yang ada seperti tata edar dan lain-lain,” kata Venna.
"Ini masukan yang luar biasa untuk bisa memperjuangkan film yang menjadi identitas bangsa. Kalau enggak sekarang mau kapan kita bisa punya perfilman seperti Korea, India," katanya seraya berharap kaukus ini mengerucut menjadi panitia khusus (panitia kerja).
Sebelumnya, Anang Hermansyah, Tompi dan Tantowi Yahya berniat menginisiasi UU Perlindungan Profesi Musik Indonesia sebagai bagian dari UU 28. Kini, mantan istri Ivan Fadilla ini pun ingin menempuh langkah serupa bagi industri film.
Setelah ini, menurut Venna, bakal ada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X. “Kami akan duduk bersama lagi sebelum RDPU. Lalu setelah itu, ada pertemuan dengan Kapolri. Setelah itu, kami akan ke Pak Jokowi," papar Venna.
Kusutnya Pita Perfilman IndonesiaBeberapa elemen industri perfilman yang diundang oleh Venna dalam kaukus kali ini mengutarakan beberapa poin penting. Kusumo dari Gabungan Aksi Sinema Indonesia menegaskan perlunya revisi UU Perfilman sesegera mungkin agar insan film tak mati suri.
Sementara Rudy S, mewakili KADIN sebagai Ketua Bidang Film, Video dan Fotografi, menyampaikan perlunya perhatian regulator terhadap perfilman Indonesia. Ia antara lain menyoroti soal Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), juga sumber daya manusia (SDM).
"Industri perfilman kekurangan anggaran, tidak sampai 1 miliar. Kemudian ada kebingungan terhadap Bekraf, ada 16 subsektor di mana film salah satunya,” kata Rudy. “Kekurangan SDM juga menyebabkan kurangnya tindakan memberantas pembajakan.”
Pandangan lain disampaikan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia Johnny Safrudin. Menurutnya harus ada perhatian dari DPR RI, untuk segera merevisi UU Perfilman karena menurutnya UU 33 2009 “amburadul.”
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Produser Film Indonesia Faudzan Zidni menyoroti kurangnya data mengenai penjualan film Hollywood menyebabkan perfilman lokal tak punya tolak ukur.
"Kita bahkan tidak pernah mendapat data berapa banyak penjualan film Hollywood di dalam negeri. Kami kekurangan data untuk melakukan studi, akibat kekurangan data mengenai penjualan film Hollywood di dalam negeri," ucap Fauzan.
Embi C. Noer, mewakili Kedai Film Nusantara dan Ketua Bidang Komunitas dan Jaringan BPI, menekankan masalah pembangunan bioskop berbasis komunitas. Ada ketimpangan jumlah bioskop dan kabupaten-kota di Indonesia. Ia pun menyinggung kinerja LSF.
“Bagaimana kami melakukan sensor pada film yang kejar tayang. Badan sensor harus lebih memformulasikan bagaimana memberikan apresiasi pada masyarakat, agar masyarakat dapat dengan sendirinya melakukan sensor terhadap film yang dibuat," papar Embi.
Suara penutup datang dari Fauzi Baadila. Sang aktor berpendapat, pekerja film mengalami jam kerja yang tak wajar. Fauzi bahkan menyatakan pernah sakit karena jam kerja yang terlalu berat, bisa 30 jam. Masalah jam kerja ini pun perlu dibereskan.
"Saya pernah mengalami gangguan jiwa karena jam kerja yang terlalu berat,” katanya. “Untuk asuransi sudah sebagian berjalan lancar. Tolong pekerja film diperhatikan baik jam kerja maupun asuransinya. Idealnya tidak lebih dari 15 jam sehari.”
(vga/vga)