Jakarta, CNN Indonesia -- Meski terkesan galak dan asyik dengan dunianya sendiri, legenda musik Indonesia, Slamet Abdul Sjukur, memiliki filosofi humanis yang melekat dalam setiap napas semasa hidupnya.
"Pesan Bapak, setiap pagi harus tersenyum, legowo, dan berpikir positif," kata Tiring Mayang Sari, anak pertama Slamet kepada
CNN Indonesia saat ditemui di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (3/7).
Selain mewasiatkan untuk selalu tersenyum dan menjalani kehidupan dengan positif, Slamet juga memiliki kepribadian yang sangat humanis dan masih lekat dalam benak Tiring.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada suatu kali, Tiring bercerita, ia dan sang ayah tengah berjalan-jalan. Mereka bertemu penjual sapu lidi yang sudah sangat tua. Slamet dengan spontan menghampiri sang penjual sapu dan menanyakan harga barang dagangannya.
Sapu yang dijual sebesar Rp 10 ribu per buah tersebut dibeli Slamet dengan Rp 20 ribu per buah. Ia membeli sebanyak lima buah. Setelah memberikan uang, sapu yang sudah terbeli tersebut diberikan kepada penjual sapu sebagai hadiah. Slamet tak ingin sekadar memberi uang, seperti tangan di atas kepada pengemis.
Slamet bukan musisi biasa. Sebagai keturunan kaya raya, dirinya juga berotak genius dan gemar belajar. Setelah tamat sekolah musik di SMIND Yogyakarta, Slamet dikirim oleh sang ayah ke Conservatoire National Superieur De Musique De Paris. Ia di sana belajar musik.
Setelahnya, ia mendapat beasiswa dari Pemerintah Perancis untuk memperdalam pengetahuannya mengenai piano di Ecole Normale de Musique. Tak puas, Slamet pun terus mengembangkan diri secara autodidak.
"Bapak itu gemar sekali baca buku, kalau baca buku luar biasa cepat, tiga buku habis dalam satu hari," kata Tiring.
Kegemaran Slamet itu memperkaya pengetahuan dan filosofi yang telah ia miliki. Pencarian ilmu itu dibantu pula dengan lima bahasa yang ia kuasai: Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, dan China.
Uniknya, meski menguasai lima bahasa sekaligus, Slamet enggan menggunakannya jika berkomunikasi dengan orang Indonesia atau dalam kehidupan sehari-hari. Dirinya justru marah bila ada orang yang mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
"Bapak itu laki-laki Jawa, tidak suka pakai bahasa asing. Menurut bapak, kepandaian itu tidak perlu dipamerkan," kata Tiring.
Pecinta masakan Jawa seperti rawon dan sambal orek tempe ini juga terkenal gemar memberikan ilmunya. Semasa menjadi ketua jurusan Musik di Institut Kesenian Jakarta, Slamet terkenal gemar mengajar hingga melebihi waktu kuliah.
Selain itu, Slamet pun gemar memberikan apresiasi bagi muridnya bila dinilai sangat berbakat. Kebaikannya tersebut pernah diprotes oleh Tiring, lantaran dianggap terlalu baik.
"Mungkin karena Bapak itu mengajar dengan hati, dan dirinya juga tidak memandang status sosial muridnya," kata Tiring.
Slamet terkenal dengan banyaknya karya yang telah ia hasilkan. Tercatat ada 55 karya yang berhasil dibukukan sejak 1958 hingga 2014, seperti Sangkuriang (1958), Bunga di Atas Batu (1960), Angklung (1975), dan Uwek-uwek (1992).
Namun masih banyak karya dari sang legenda yang masih belum rampung diselesaikan. Menurut Tiring, hingga sang bapak meninggal, dirinya masih menyisakan banyak "pekerjaan rumah" dari para muridnya yang belum diperiksa.
Sang maestro memang sering menggagas sebuah proyek yang kemudian dikerjakan oleh para muridnya, salah satunya komposisi piano dan gong yang ditugaskan kepada Aksan Sjuman.
Masih banyak pula yang dikelola para murid Slamet yang tersebar di Surabaya, Jakarta, dan kota-kota lain di Indonesia.
Banyaknya karya juga berati berurusan dengan royalti. Namun sepertinya Slamet tidak ingin terlalu pusing mengurusi masalah royalti atas seluruh karyanya yang tersebar di penjuru dunia. "Semua royalti atas karya bapak dilimpahkan sepenuhnya kepada adik saya, Svara," ucap Tiring menjelaskan.
Svara merupakan anak Slamet dari istrinya yang berkebangsaan Perancis. Lantaran merasa bertanggung jawab karena tidak sempat memberikan nafkah kepada darah daging yang tinggal di Perancis tersebut, Slamet memberinya hak atas royalti seluruh karyanya.
Kini Slamet telah pergi selamanya. Namun karya dan ilmu yang diajarkan kepada para muridnya terus berkembang mengikuti arus zaman.