LAPORAN KHUSUS

Wiji Thukul Era Media Sosial versi Andina Dwifatma

Vega Probo | CNN Indonesia
Rabu, 26 Agu 2015 17:15 WIB
"Aku membayangkan orang kayak Wiji Thukul hidup di zaman digital, yang punya akun media sosial, mengakrabi Twitter," kata sang penulis muda.
Mural-mural tentang Wiji Thukul di Jalan TB Simatupang, Jakarta. (CNN Indonesia/Basuki Rahmat N)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di era media sosial, banyak orang "bersuara lantang." Sampai-sampai muncul karikatur yang menggambarkan Facebook sebagai pabrik hakim, karena banyak orang mendadak kritis dan gemar menghakimi orang lain yang berbeda pendapat.

Jadi, bayangkan bila Wiji Thukul hidup di era kini. Syair puisinya yang meledak-ledak agaknya bakal jauh lebih fenomenal ketimbang eranya dulu, 1990-an, semasa rezim Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto.

Begitulah gambaran karakter—aktivis "berbahaya” di era media sosial—yang sedang dikembangkan Andina Dwifatma untuk novel ke-duanya. Saat dihubungi CNN Indonesia via telepon, kemarin (25/8), sang penulis mengilas sedikit tentang inspirasi karyanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Aku membayangkan orang kayak Wiji Thukul hidup di zaman digital, yang punya akun media sosial, mengakrabi Twitter," kata  penulis yang juga pengajar mata kuliah Komunikasi dan Perubahan Sosial di Program Studi Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia, Atma Jaya, Jakarta.

Sebelumnya, alumnus Universitas Diponegoro, Semarang, pada 2009, ini sudah merilis biografi cendekiawan muslim Azyumardi Azra Cerita Azra (2011), dan novel Semusim, dan Semusim Lagi (2013) yang memenangkan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012.

Andina sengaja memilih era kini karena sesuai dengan eranya. Ia mengaku, tak tahu menahu soal era 1998. Ketika itu, ia baru berusia 12 tahun. Jadilah karakter sang aktivis dalam novelnya digambarkan “berbahaya” sekaligus gaul di media sosial.

Demi memperoleh gambaran nyata tentang aktivis—terutama yang kemudian tak tentu rimbanya seperti Thukul, Andina tak segan menyambangi kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan menilik sejumlah dokumen.

Sejauh ini, perempuan kelahiran Jakarta, 15 September 1986, mengaku sudah merampungkan penokohan, dan sekarang tinggal melanjutkan penggarapan alur kisah. Lantas apa membuatnya tertarik menokohkan aktivis berbahaya untuk novel ke-duanya?

“Saya kagum pada Wiji Thukul,” peraih penghargaan jurnalistik Anugrah Adiwarta 2011 ini mengakui. “Saat penyair lain begitu terpaku pada estetika, Wiji Thukul telah melampauinya. Sajaknya seperti isi pamflet, sama sekali tidak mendayu-dayu, tapi justru itulah yang membuat sajaknya hidup.”

Bagi Andina, sajak Thukul tak hanya hidup, juga melegenda. Thukul rela berjuang demi rakyat kecil, atau kaum buruh, padahal hidupnya sendiri susah. Namun di sisi lain, ia jujur dan baik hati. Sikap itulah yang membuat Andina mengagumi Thukul.

Saat disinggung lebih jauh tentang novelnya, Andina berkilah novelnya belum rampung, dan belum saatnya untuk dibocorkan. “Sebagai penulis, saya sendiri tidak tahu kapan novel ke-dua ini akan selesai. Tapi saya sudah terbayang bakal ke mana arahnya.” (vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER