Jakarta, CNN Indonesia -- Janet DeNeefe termasuk yang bersedih saat Bali ambruk setelah peristiwa pengeboman, 12 Oktober 2002. Ratusan orang meninggal, termasuk warga negara asing. Bali yang dahulu dianggap "surga" pun terlupakan.
Sampai 2003, orang masih takut berkunjung ke Bali. DeNeefe lantas berpikir, ia harus melakukan sesuatu untuk mengubah itu. Bali merupakan tanah yang ia cinta sejak pertama menginjakkan kaki di sana pada 1974.
DeNeefe berusia 14 tahun saat itu. Sekitar 10 tahun setelahnya, ia kembali ke Pulau Dewata dan bertemu Ketut Suardana, pria yang kemudian menjadi suaminya. Jiwa DeNeefe pun makin menyatu dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika bagian dari dirinya itu merana, ia pun tak tinggal diam. Seperti pernyataannya pada Sydney Morning Herald, DeNeefe bermimpi kembali menyemarakkan Bali dengan festival yang ditanganinya sendiri. "Saya selalu berpikir ada ruang untuk komunitas. Awalnya saya berpikir puisi sore," katanya.
Namun pemikiran itu berubah saat DeNeefe menghadiri Melbourne Writer's Festival pada 2003. Duduk di kursi pembicara diskusi panel, pandangan DeNeefe menerawang ke jalanan yang putih, dingin, penuh salju.
Sebuah pemikiran bermain-main di kepalanya, "Tidak bisakah mereka meletakkan bunga di sana?" Saat itulah DeNeefe merasa yakin, "Oke, saya akan menggelar festival untuk para penulis." Ia langsung mengirim pesan singkat pada seorang teman soal idenya itu.
Tahun itu juga, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) digelar pertama kali, didukung Yayasan nonprofit Mudra Swari Saraswati. Sampai kini, 12 tahun kemudian, festival impian DeNeefe masih langgeng.
UWRF bahkan menjadi salah satu tujuan para pencinta buku dari seluruh dunia, termasuk penulis muda. UWRF tercatat dalam almanak mereka. Ia juga menginspirasi beberapa festival serupa, seperti di Kamboja.
Andina Dwifatma, penulis muda Indonesia yang tahun ini ikut berbicara di salah satu sesi UWRF mengatakan, acara itu merupakan ajang temu penulis dan pembaca yang menguntungkan. Ia memperlebar cakrawala.
"Kita jadi tahu bagaimana cara mereka bekerja, apa yang menginspirasi mereka, pengalaman mereka selama berkecimpung di dunia kepenulisan," kata Andina saat dihubungi CNN Indonesia, pada Selasa (27/10).
Para peserta UWRF juga terpincut kecantikan dan ketenangan Ubud. UWRF sengaja digelar di sana, kata DeNeefe, karena menawarkan keintiman sekaligus kehangatan dari masyarakat setempat. "Ubud punya pesona khusus dan suasananya sulit untuk dikalahkan," tutur DeNeefe mengungkapkan.
Tahun ini, UWRF digelar pada 28 Oktober sampai 1 November. Acara itu memang digoyang isu penyensoran, yang menurut DeNeefe tak pernah ada selama 12 tahun terakhir. Sesi terkait 1965 dibatalkan, beberapa penulis pun membatalkan kehadiran mereka.
Namun masih ada ratusan penulis dengan beragam tema yang menghadirinya. Mereka datang dari puluhan negara. DeNeefe merasa senang bisa membalikkan cap Bali sebagai kota teroris, menjadi penuh ide kreatif.
"Sekarang itu lebih dari festival seni."
Sesuai tema yang diusung Indonesia ke Frankfurt Book Fair 2015, UWRF tahun ini juga memboyong
17.000 Islands of Imagination. Selain
workshop dengan beragam tema, ada pula acara untuk anak-anak, remaja, penayangan film, peluncuran buku, juga acara
traveling mengenal Bali.