Jakarta, CNN Indonesia -- Panitia
Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 membatalkan satu sesi acara lagi yang berlatar peristiwa 1965. Sesi tersebut adalah peluncuran buku
Bali, 1964 to 1969 karya penulis Selandia Baru, Jan Mantjika.
"Dengan berat hati kami menginformasikan peluncuran buku
Bali 1964-1999 telah dibatalkan," kata Panitia URWF dalam situs resminya,
ubudwritersfestival.com, Minggu malam (25/10).
Bali, 1964 to 1969 menceritakan tentang seorang wanita Selandia Baru yang tiba di Indonesia pada tahun 1964. Ia bersuamikan pria Bali yang berasal dari keluarga bangsawan. Mereka memiliki putri berusia 13 tahun. Ini merupakan kisah pribadi sang pengarang, Jan Mantjika, yang menggambarkan peristiwa 1965 sebagai "neraka dunia."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jan semula dijadwalkan meluncurkan dua buku, yakni
Bali, 1964 to 1969 dan
My Friend Vincent. Pembatalan hanya berlaku untuk buku
Bali, 1964 to 1969, sedangkan peluncuran buku
My Friend Vincent tetap berlangsung.
Sebelumnya, tiga diskusi panel berjudul
1965, Bearing Witness;
1965, Writing On; dan
1965, Bali telah lebih dulu dibatalkan bersama pemutaran film
The Look of Silence (Senyap), serta pameran seni dan peluncuran buku
The Act of Living yang memotret kehidupan perempuan korban 1965 yang juga tahanan politik di Yogyakarta, Kupang, dan Pulau Buru.
Inisiator sekaligus Direktur UWRF Janet DeNeefe menilai pembatalan sesi 1965 sebagai hambatan besar bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Menurutnya, beberapa tahun belakangan Indonesia sesungguhnya sudah mulai terbuka soal tragedi pembantaian massal yang mengikuti peristiwa G30S 1965.
Pada 1965, pembunuhan massal terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September malam di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.
"Banyak karya soal 1965 diterbitkan, diluncurkan,dan didiskusikan dalam festival. Pintu (menuju kebebasan berpendapat) sebenarnya perlahan sudah mulai terbuka, tapi kini justru kembali ditutup oleh kekuatan besar," ujar DeNeefe seperti dikutip dari
Sydney Morning Herald.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Resor Gianyar Ajun Komisaris Besar Farman menyatakan Kepolisian tak melarang atau mengintervensi UWRF.
“Kami (Kepolisian) sifatnya mengimbau, mengingatkan. Ini kan festival sastra dan budaya yang sudah berjalan 12 tahun. Tapi kenapa baru sekarang mau mengangkat masalah PKI. Sastranya mau mengarah ke mana?” kata Farman.
Panitia UWRF mengatakan diskusi soal 1965 sesungguhnya dilakukan untuk menghormati para korban. Namun panitia membatalkannya demi keberlangsungan Festival ke depannya.