Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi sebagian orang di Indonesia, graffiti masih dianggap kegiatan vandalisme yang mengganggu pemandangan dan dilakukan oleh remaja nakal. Namun sisi lain, kemajuan graffiti Indonesia diakui kancah internasional.
"Antar seniman lokal dengan internasional sudah saling komunikasi, kami saling tukar pendapat sembari membuat graffiti bersama. Kami saling bertukar budaya sejak 2009," kata Tuts, seniman graffiti lokal senior saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, baru-baru ini.
"Seniman Perancis sudah sering ke Indonesia, begitu juga dengan seniman lokal juga sudah ke sana. Pernah juga Kedutaan Jerman mendukung seniman lokal ke Berlin," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut penuturan Tuts, graffiti mulai masuk ke Indonesia sejak 1999. Berasal dari New York, semula graffiti hanyalah coretan vandal di sarana umum atau ruang publik, hingga berkembang menjadi tren di kalangan anak muda.
Tuts sendiri mulai menaruh minat pada graffiti pada awal 2000-an. Kala itu, seni jalanan yang terbilang profesional—bukan asal coret—baru merebak.
Ia dikenalkan pada graffiti oleh teman-temannya, anak ekspatriat yang menimba studi di sekolah internasional di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Merasa menjadi hobi baru yang mengasyikkan, Tuts pun mulai menekuni hobi yang kemudian membawanya hingga ke Taiwan, Selandia Baru, dan berbagai negara lain hanya untuk menjadi
bomber atau penggambar graffiti di jalanan.
"Graffiti ini punya rentang usia seniman yang lebar, mulai dari anak SD atau SMP hingga yang sudah bekerja. Biasanya untuk yang masih pemula, seperti anak-anak itu, mereka tengah mencari jati diri, sedangkan yang sudah bekerja ya sebagai hobi atau penghasilan tambahan," kata Tuts.
Meski graffiti sendiri berasal dari New York, namun bukan berarti seniman Indonesia tak memiliki ciri khas dalam karya-karyanya. Hal ini pun diakui oleh Tuts, banyak seniman graffiti lokal telah dikenal karena karyanya yang mengadopsi unsur budaya Indonesia.
Seperti contoh seniman dengan nama jalanan Popeye. Tuts mengakui, seniman ini kerap memasukkan karakter pewayangan sebagai ciri khasnya dalam karya graffiti yang modern dan futuristik. Karakter pewayangan dibuat secara tersirat, tanpa meninggalkan kesan hip-hop.
"Kami tetap menekankan budaya lokal. Itu penting, karena bagaimanapun kami Indonesia. Di mana pun seniman lokal berada, mereka tetap Indonesia. Mau dandan se-hip-hop kayak bagaimana, tetap Indonesia. Kami saling mengingatkan," kata Tuts.
Tetap Jadi KontroversiMenggambar atau membuat karya di ruang publik tanpa izin tentu saja berisiko dihapus atau ditangkap oleh pihak berwajib. Tuts dan seniman lain memahami risiko ini. Namun alih-alih berhenti, Tuts menganggap hal tersebut sudah menjadi konsekuensi.
Tuts dan para seniman graffiti yang lain memahami aturan membuat seni jalanan. Selain menghindari bangunan bersejarah seperti monumen, para seniman ini pun menggunakan prinsip ilmu desain visual yang biasa digunakan dalam iklan untuk memilih lokasi yang tepat sebagai "kanvas" mereka.
Mereka menghindari jalan-jalan protokol. Selain itu, mereka juga menjauhi dinding di tepi jalan yang dilewati kendaraan dengan kecepatan melebihi 50 kilometer per jam, karena pengendara yang sedang
ngebut tidak akan sadar ada "karya" atau iklan yang terpajang.
Para seniman ini pun berharap dan bersikap terbuka bila suatu kali nanti pemerintah memberikan lahan bagi mereka untuk berekspresi.
"Ada yang bilang, graffiti adalah karya seni, ada juga yang tidak. Justru menurut saya, di situlah keindahannya. Graffiti akan selalu ada di
grey area. Kalau sudah di wilayah hitam atau putih, tidak indah lagi," kata Tuts.
"Pro-kotra yang terjadi tentang graffiti inilah yang membuatnya hidup. Kalau pun pemerintah memberikan tempat, itu sangat bagus, bisa jadi untuk para
toy—pemula—berlatih, dan bisa juga buat yang
indie. Karena beda rasanya gambar di atas kertas dengan di dinding 3x4 meter."
(end/vga)