Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Bioskop di lantai atas atas salah satu mal besar di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta itu tak pernah terlalu menarik buat saya. Sampai suatu saat, ia berubah. Warnanya lebih dari sekadar merah dan putih.
Ada oranye, yang secara psikologis identik dengan warna keceriaan. Lampu-lampunya lebih meriah. Fasilitasnya terkesan lebih mewah. Ada gerai dengan nama berbahasa Perancis.
Lounge yang lebih nyaman dan lobi yang jauh lebih lapang.
Tapi demi perubahan itu, sang bioskop juga harus rela nama lamanya berubah. Blitzmegaplex, yang mulanya merupakan salah satu jaringan bioskop alternatif di Indonesia, kini menjadi CGV Blitzmegaplex. CGV sendiri adalah jaringan bioskop besar di Korea Selatan (Korsel).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didirikan sejak 1996, CGV telah berekspansi ke beberapa negara di Asia. Vietnam salah satunya. Negara yang pernah disebut salah satu petinggi Sony Pictures Entertainment saat berbincang dengan saya, sebagai target mereka. Sebab industri perfilmannya mulai stabil.
Alasan itu pula yang membuat CGV, yang dari negara asalnya merupakan singkatan dari
Culture, Great, dan
Vital itu masuk ke Indonesia. Di Korsel sendiri ia sudah punya ratusan ribu layar bioskop untuk publik.
Industri perfilman Indonesia memang tengah bergairah. Film lokalnya mulai menjanjikan. Bioskop masih menjadi hiburan paling dicari dan terjangkau. Harga tiket bioskop Indonesia termasuk yang termurah di dunia. Pencinta filmnya pun selalu haus inovasi-inovasi teknologi baru.
Dahulu memang bioskop asing seperti CGV tak bisa masuk Indonesia. Perfilman masuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI), artinya tak boleh ada investasi asing yang "bertaruh" padanya. Tapi beberapa waktu lalu asing boleh memilikinya dengan saham maksimal 51 persen.
Kini, Badan Ekonomi Kreatif yang dikepalai Triawan Munaf memutuskan membuka lebar-lebar keran itu. Asing boleh berinvestasi 100 persen. CGV berada di garis terdepan. Ia termasuk perusahaan yang mengantre untuk berinvestasi di perfilman Indonesia.
Bukan hanya bioskop, investasi juga bisa dilakukan dari sisi produksi serta distribusi. Asing akan dipermudah mengambil gambar di Indonesia, seperti yang dilakukan Perancis untuk mempromosikan wisatanya. Distributor asing juga bisa mengedarkan filmnya di Indonesia.
Dibukanya keran itu bisa berujung pada dua kemungkinan. Peluang emas bagi Indonesia atau justru menciptakan "penjajahan" baru karena asing berkuasa di tanah kita.
Para insan perfilman dan Bekraf jelas memilih yang pertama. Masuknya asing ke bioskop bisa menambal daerah kosong yang belum punya layar, terutama di luar Jawa. Triawan pun menegaskan pihaknya takkan memperbolehkan asing mendirikan bioskop dekat dengan bioskop lokal.
Itu memungkinkan film lokal semakin banyak ditonton di daerah-daerah, meski juga berarti karya Hollywood akan semakin gencar "berkeliaran." Harga bioskop mungkin akan lebih kompetitif, mengingat persaingan akan jauh lebih menggairahkan.
Dari sisi produksi, seperti sudah disinggung sebelumnya, bisa mempromosikan pariwisata Indonesia. Negara ini akan menjadi latar di banyak perfilman asing, seperti di hampir setiap film ada Menara Eiffel berdiri menjulang.
Masuknya produksi asing ke Indonesia juga berarti transfer pengetahuan. Produser dan sutradara asing yang bekerja di Indonesia pasti harus bekerja sama dengan kru lokal. Kita bisa belajar banyak dari situ, bahkan membuka peluang koproduksi perfilman.
Tapi semua kondisi ideal itu baru bisa dicapai jika Indonesia sendiri sudah siap, bukan sekadar membuka gerbang. Keterampilan sineasnya setara untuk bersaing dengan asing, pun kualitas perfilman dan tak ketinggalan payung hukum yang tetap melindungi pebisnis-pebisnis lokal.
Dan peluang yang sama juga harus mendorong keberanian pengusaha Indonesia untuk berpikir sebaliknya. Bahwa tidak hanya asing yang bisa menginvasi Indonesia, tetapi kita juga bisa menebarkan investasi ke negara lain, minimal ke kawasan Asia dahulu.
Siapa tahu kita bisa seperti China, yang beberapa waktu lalu membeli salah satu studio besar Hollywood, Legendary Pictures. Itu bukan hanya perkara modal, melainkan juga keberanian. Dan tentu saja didukung industri perfilman China yang makin tahun makin bergairah saja.
Sepanjang 2015, menurut data, industri perfilman di Negeri Tirai Bambu naik hampir 70 persen.
Dalian Wanda Group, perusahaan besar China yang membeli Legendary Pictures, sebelumnya memang sudah punya banyak rintisan. Studio raksasanya di China sudah sering dipakai syuting film Hollywood. Ia juga punya jaringan bioskop besar yang sudah merambah Amerika.
Tapi Dalian Wanda Group masih belum puas untuk membawa perfilman China ke ranah dunia.
Wang Jianlin, bos Dalian Wanda Group berprinsip, "Jika Anda ingin mendatangkan uang, Anda harus membuat orang-orang menyukai film Anda." Tapi ia melihat film-film buatan China belum banyak ditayangkan di Amerika. Ia merasa harus bertindak.
"Agar itu terjadi, film-film China harus menemukan jalan untuk menghibur penonton Amerika," katanya. Jalan yang dipilihnya adalah mendirikan bioskop di Negeri Paman Sam, "menyelundupkan" bintang-bintangnya ke film Hollywood, membuat studio lokal, termasuk membeli studio besar dari Amerika.
Mumpung keran DNI telah dibuka dan iklim investasi tengah bergairah, mengapa pengusaha-pengusaha Indonesia yang bermodal dan punya keberanian tak mengikuti jejak China, "memenetrasi" dunia lewat film kita?
(rsa/vga)