Jakarta, CNN Indonesia -- Latihan keras setiap hari yang dilakukan para penari balet atau balerina terbayar sudah ketika nama mereka dipanggil oleh pembawa acara Dance Prix 2016 sebagai pemenang.
Rona terkejut, bahagia, bahkan haru, bercampur jadi satu saat menerima hadiah sebagai ganjaran atas usaha keras mereka di kompetisi balet dan kontemporer pertama di Indonesia tersebut.
Teater Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Minggu malam (17/4), menjadi saksi keberhasilan 18 penari meraih juara pertama, ke-dua, dan ke-tiga untuk enam kategori.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka berhasil mengungguli puluhan peserta lain yang tak kalah berbakat setelah berkompetisi selama dua hari (16-17/4) untuk menunjukkan kebolehan meliukkan tari balet dan kontemporer.
"Ini lega rasanya, tidak menyangka sama sekali," kata Soraya Nathasya Dwinandry saat dihampiri CNNIndonesia.com usai acara. Ia sudah berganti dari kostum tutu menjadi kasual selayaknya remaja, namun rona bahagia ditambah bunga mawar pemberian para pendukungnya menunjukkan ia bukan sekadar remaja biasa.
Soraya dan kawan satu sekolahnya, Dwigdi Diksita, memukau para penonton Dance Prix tadi malam. Penampilan solo balet mereka sukses memukau para juri dan penonton. Mereka mungkin baru 15 tahun, tapi bakat dan berkat usaha keras yang mereka jalani mendapatkan ganjaran yang setimpal: beasiswa ke luar negeri.
Soraya diumumkan oleh pembawa acara sebagai pemenang beasiswa ke Amsterdam, Belanda, salah kota tempat penari balet dunia menempa diri mereka. Tak cukup sampai di situ, Soraya juga dianugerahi juara pertama kategori Junior B.
Sedangkan sang karib, Dwigdi, diganjar beasiswa ke Singapura. Dwigdi pun punya kesempatan memperdalam balet di salah satu negara rujukan seni terbaik di Asia.
Soraya dan Dwigdi menampilkan permainan artistik Swan Lake, kisah klasik balet dari Rusia yang sudah populer sejak awal abad ke-19.
Tarian ini penuh nuansa romantis, indah dan keanggunan. Keduanya terus berlatih dengan disiplin sejak dua bulan terakhir sebelum berkompetisi. Namun jejak balet keduanya sudah dimulai sejak belasan tahun lalu.
"Saya masuk sekolah balet sejak usia lima tahun. Memang awalnya
nonton Barbie, lalu lama-lama tertarik mencoba balet karena Mama juga kerja di tempat balet, jadi ingin mencoba," kata Soraya. "Kalau saya, karena
didaftarin Mama masuk sekolah balet, lalu jadi suka," Dwigdi menimpali.
"Kalau ke depannya bagaimana, belum
kebayang sama sekali. Tapi saya siap dilatih di Amsterdam. Saya ingin menjadi pebalet profesional," kata Soraya mantap. "Sama, saya juga," ujar Dwigdi sambil tersenyum malu.
 Soraya Nathasya Dwinandry (kanan) dan Dwigdi Diksita (kiri), pemenang Dance Prix Indonesia kategori Junior B saat ditemui CNNIndonesia di Graha Bhakti Budaya TIM, Minggu (17/4). (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Kemenangan adalah BonusSetelah Soraya dan Dwigdi tampil di kategori junior, selang beberapa waktu kemudian, masuk kategori lebih senior. Di dua penampilan di Graha Bhakti Budaya tersebut, muncul seorang pemudi yang mengisahkan tarian tentang perjalanan hidupnya.
Setelah sang gadis tampil, peserta berikutnya laki-laki. Dengan gerakan tegas namun luwes, pria yang masih berusia 19 itu memikat penonton juga juri.
Pria itu bernama Kevin Julianto, satu-satunya peserta pria solo dan ia adalah kekasih Althea Sri Bestari, sang pemudi yang sebelumnya baru saja tampil.
Keduanya sama-sama memenangkan penghargaan. Kevin diganjar juara pertama kategori Solo Contemporer. Sedangkan sang kekasih, dianugerahi juara ke-dua. Pasangan penari ini terharu atas keberhasilan memenangkan penghargaan tersebut.
"Kenapa saya ikut balet? Balet adalah salah satu cara saya menumpahkan emosi, perasaan yang bisa saya
nikmatin. Dan semua tarian tidak ada yang datar, ada ceritanya," kata Althea ketika ditemui CNNIndonesia.com, sesuai acara Dance Prix.
"Kalau saya karena 'kecelakaan.' Saya kelelahan ikut klub basket, lalu pilihannya cuma dua: paduan suara atau balet. Karena saya tidak bisa menyanyi, maka saya pilih balet," kata Kevin yang hadir di sisi Althea. "Dengan tari, saya menemukan saya dapat jujur dengan diri saya sendiri dan bisa lebih berekspresi."
 Althea Sri Bestari (kiri) dan Kevin Julianto (kanan), pemenang Dance Prix Indonesia 2016 kategori Solo Contemporary saat ditemui CNNIndonesia di Graha Bhakti Budaya TIM, Minggu (17/4). (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Sejak mengikuti balet di usia empat tahun, Althea mengakui ia tak pernah merasa jenuh meskipun balet adalah satu jenis tarian yang membutuhkan kedisiplinan tinggi, tak ada jalan pintas, begitu ucap Althea. Tapi kedisiplinan itu terbayar dengan dua kali menjuarai Dance Prix, pada 2015 dan 2016.
Sedangkan bagi laki-laki normal seperti Kevin, mengikuti balet bukan berarti tanpa halangan. Ledekan dan olokan sudah kenyang ia terima. Namun semua orang yang pernah mengolok-olok kini terdiam saat Kevin dapat membuktikan dirinya tetap
gentle sebagai penari berprestasi.
"Kalau memang suka ya lakukan jangan sampai terhambat dengan pandangan negatif. Kalau memang positif, lanjutkan saja," kata Kevin. "Kalau hobi dan
passion, jangan
dihalangin. Bagaimana juga harus dicapai dan jangan menyerah atau memilih jalan yang lain, sebisa mungkin jadikan hobi sebagai pekerjaan," timpal Althea.
Sebagai remaja yang beranjak dewasa, Kevin dan Althea mengakui lebih memilih menjalani proses pendidikan balet yang masih mereka tempuh. Bagi mereka, memenangkan sebuah kompetisi di masa sekolah bukan akhir, namun hanya sebagai kiasan.
"Setelah menang pun ya kembali lagi seperti biasa, latihan lagi, menang mah cuma bonus," kata Kevin menyungging senyum lebar sambil
memandang pialanya.
(end/vga)