Jakarta, CNN Indonesia -- Tinggal di balik jeruji penjara membuat gerak langkah narapidana terbatas. Sekalipun raga terpenjara, namun cukup beruntung setidaknya buah pikiran tetap diperkenankan bebas merdeka.
Lihat saja karya fantastis Pramoedya Ananta Toer yang melegenda, macam buku tetralogi Pulau Buru, yang dihasilkan kala dipenjara dan diasingkan selama sepuluh tahun di pulau di Maluku itu.
Kini, giliran penghuni Lembaga Pemasyarakatan Wanita (Pasnita) Kelas II A Tangerang yang mengikuti jejak Pram. Sebagian mereka merangkum kisah dalam sebuah buku bertajuk
Negeri Harapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buku tersebut berisi kumpulan cerita pendek (cerpen) karya Gayatri, Winny Erwindia, Conie Pakuan, Nurul Azmy, Elis Narita Sujana, Veriny dan Jessica Clara, sebagai hasil binaan menulis selama di Pasnita.
Para penghuni Pasnita memang mendapat beragam binaan, dari menulis, menari sampai memainkan alat musik. Harapannya, mereka memiliki kemampuan lebih saat bebas dari hukuman nanti.
Selama menulis, Gayatri dkk dibimbing oleh Kristin Samah dan Chris Nusatya. Menurut Kristin, awalnya Gayatri dkk tak berniat bikin buku. Namun lama kelamaan, ide bikin buku keluar juga.
"Lalu, kami bahas lagi tulisan seperti apa yang mau ditulis dalam buku itu. Sambil nulis saya ke penerbit buku," kata Kristin saat peluncuran buku di Tangerang, pada Kamis (2/6).
Kristin menjelaskan, sempat ada beberapa ide yang terus diganti. Hal itu dilakukan agar penulis yang merupakan narapidana, atau disebut juga warga binaan, nyaman dan menikmati saat menulis.
 Gayatri, Winny Erwindia, Conie Pakuan, Nurul Azmy, Elis, Veriny dan Jessica yang merupakan warga binaan Lapas Wanita Tangerang Kelas II, juga penulis buku Negeri Harapan, bersama editor Kristin Samah dan Chris Nusatya. (CNN Indonesia/M. Andika Putra) |
"Ide awal mau bikin buku sendiri-sendiri yang isinya biografi, tapi kami semua enggak mau. Kami mau
nulis kejadian yang menarik dan lucu-lucu. Kami mau kasih lihat bahwa penjara tak seseram yang mereka kira," kata Gayatri.
Menurut Conie, hal-hal lucu juga menjadi penyemangat mereka saat bosan di dalam penjara. Ia merasa cerita biografi orang yang hidup dalam penjara sudah biasa. Lebih baik kisah sehari-hari.
"Walau tembok membatasi, tetapi kreativitas tidak terbatas. Kami biasanya menulis setelah aktivitas sehari-hari. Waktu istirahat dan sebelum tidur itu biasanya ide lagi banyak dan kami nulis," kata Conie.
Penulis tidak hanya menceritakan kejadian lucu yang dialami sendiri, melainkan juga yang dialami teman-temannya. Setiap penulis membuat dua sampai lima tulisan. Total terangkum 39 cerpen.
Kristin menjelaskan, buku ini hanya mendapat royalti 10 persen dari penjualan. Pendapatan itu tidak diberikan kepada penulis maupun editor. Uang itu akan digunakan untuk mengembangkan kelas menulis di Pasnita Tangerang Kelas II A.
"Kami dari awal enggak ada niatan komersil. Pendapatan ini mungkin untuk beli laptop, karena sebelumnya kami nulis di kertas,
pegel, dan karena itu ide terhambat. Untung Winny ada laptop, jadi kami gantian [memakainya],” ujat Elis.
Kepala Pasnita Tangerang Kelas II A Murbihastuti menjelaskan, saat ini sudah ada tiga laptop inventaris yang bisa digunakan. Laptop ini berada di perpustakaan dan hanya bisa dipakai di tempat.
Ia menjelaskan pengadaan barang mungkin saja ditambah apabila dana awal tahun diterima. Terlebih barang tersebut digunakan untuk kreativitas yang positif.
"Saya rasa, semua lapas tak ingin membatasi kreativitas. Warga binaan kami beri kesempatan dan kami arahkan," kata Murbihastuti.
(vga/vga)