Jakarta, CNN Indonesia -- Kemang, yang berada di selatan Jakarta mengalami perubahan yang sangat pesat. Dari awalnya hunian sepi di awal 1950-an hingga menjadi kawasan elit dan tempat nongkrong anak-anak muda di 1990-an.
Di awal bertumbuhnya, Kemang dibagi atas dua, yakni Kampung Kemang yang berada di KemChicks hingga ke Kemang Selatan I, dan Kampung Kebon yang ada di sepanjang Kemang Selatan I. Nama Kemang sendiri, diyakini diambil dari nama tumbuhan Mangifera Kemang Caecea sejenis mangga yang dulu tumbuh di kawasan ini.
Setelah hampir lima dekade, Kemang berkembang dan lebih dikenal sebagai kawasan padat yang identik dengan kemacetan. Pada 1999, pemerintah lewat SK Gubernur DKI Jakarta No 144 lalu menetapkan Kemang sebagai kampung modern.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demikianlah Hermawan Tanzil menguraikan sejarah Kemang, dalam karya instalasi seninya bertajuk ‘Kemang RT/RW’, yang ditampilkan dalam gelaran Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) 2016.
Karya ini tampil mencolok karena ditampilkan dalam format instalasi, berupa buku yang memanjang beberapa meter dan potongan-potongan dokumentasi yang menempel di dinding.
Tidak hanya memuat sejarah kawasan tersebut, Hermawan juga mendokumentasikan pendapat masyarakat, seperti penyapu jalan, guru, penerjemah, hingga pedagang kaki lima yang tinggal bertahun-tahun di sana. Membaca berbagai kutipan dari setiapnya kadang membuat dahi berkerut, dan juga tertawa.
Dari karyanya ini juga, publik diingatkan bahwa ada Bob Sadino yang pada akhir 1960-an mendirikan KemChicks dan menjadi salah satu ikon kawasan tersebut.
Karya Hermawan menyeruak dari karya enam seniman lain yang terlibat dalam pameran ICAD kali ini. Bertajuk 'Seven Scenes,' setiap seniman mencoba menginterpretasi ruang dan kota dalam pameran yang berlangsung dari 7 Oktober hingga 7 Desember 2016 di grandkemang Hotel, Jakarta.
Selain dia, seniman lainnya yang turut berpameran yakni Agung Kurniawan (seni rupa), Budi Pradono (arsitektur), Eko Nugroho (seni rupa), Oscar Lawalata (desain tekstil), Tita Salina (instalasi video) dan Tromarama (video).
Orang HilangJika Hermawan mengupas Kemang secara mendalam dan dari berbagai ruang, Agung Kurniawan menghadirkan kembali sosok aktivis yang hilang, atau dihilangkan lewat karyanya yang ia beri tajuk
The Soap Project.Karyanya ini hadir lewat sabun cuci tangan.Meski sekilas tampak sederhana, sabun-sabun menyerupai wajah lima tokoh itu yakni, Munir, Wiji Thukul, Udin, Marsinah, dan Trubus itu justru bermuatan kritik yang sangat tajam.
Dalam pengantarnya, ia menulis; ada orang hilang, keadilan juga hilang. Namun sejarah tetap tinggal. Setelah dilenyapkan oleh Negara, kelima tokoh ini kini dapat berada di tangan, sebagai sabun cuci tangan.
Menyaksikan mereka kembali hilang, sebagaimana ingatan akan mereka yang juga dihilangkan oleh pemerintah yang rajin ‘cuci tangan’.
Sabun-sabun itu dibungkus di dalam kotak berdesain aneka ragam motif, dan di baliknya terdapat keterangan detail mengenai setiap tokoh. Pada Wiji Thukul, misalnya, dituliskan bahwa ia lahir 1963 dan hilang pada 1998. Ia dikejar dan dipopor gagang senjata.
Setiap penjelasan mengenai tokoh disampaikan dengan bahasa yang lugas, apa adanya. Agung tidak hanya menyampaikan ingatan tapi juga kritik pedas, lewat sabun cuci tangan.
Menariknya, sabun-sabun ini tidak hanya untuk dipajang dalam pameran saja, tapi juga dapat dibeli sehingga boleh dibawa pulang. Sebagai pengingat atau pun dipakai sampai habis.
Selain menyampaikan kritik satir lewat sabun, Agung juga menampilkan kembali Kimchil Series, karya yang ia buat pada 2015. Kimchil, adalah bahasa slank untuk remaja perempuan yang identik dengan kelabilan dan kenakalan yang sering dijumpai di Jakarta.
 Pengunjung melihat instalasi karya Hermawan Tanzil berjudul Kemang RT/RW pada pembukaan Indonesia Contemporary Art & Design 2016. (Foto/CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Interpretasi ruang dan kotaKarya Hermawan dan Agung merupakan dua dari tujuh karya dalam ICAD ke-7 kali ini yang begitu mencolok dan membuat penasaran. Selain mudah dinikmati, karya-karya tersebut juga menggugat dengan keras.
Karya Budi Pradono, misalnya. Dibuat berupa instalasi dari kayu yang memanjang hingga 50 meter, karyanya tersebut jelas mencuri perhatian. Apalagi dengan susunan kayu yang menempel di langit-langit memenuhi ruang. Jika tidak hati-hati, maka kepala bisa saja terbentur saat melewati lorong di samping ballroom hotel tersebut.
“Ini adalah anti tesis saya akan pembangunan kampung yang selama ini horizontal, atau menapak tanah,” kata Budi saat ditemui di sela-sela pameran.
Bertajuk ‘Kampung Vertikal’, instalasi yang dibuat Budi dapat dikatakan sebagai sebuah kritik akan kelas sosial dan pembangunan hunian dalam hal ini apartemen yang selalu sama, berbentuk ruang dengan ukuran yang pasti.
Di kampung Vertikal, kata dia, orang boleh membeli ruang berdasarkan kemampuan dan kebutuhan. Pembangunan ruang pun dapat bebas, meluas ke kanan atau ke kiri. Ini kali pertama bagi Budi dalam menampilkan instalasinya ini.
Tak jauh dari sana, ia juga menampilkan model kampung vertikal dalam berbagai bentuk. Ada kampung berbentuk U dan juga V, yang digubah sedemikian rupa.
Dari lorong hotel, pengunjung dapat berpindah ke lantai atap. Di sini, Tita Salina melalui karya instalasi videonya, bertajuk
The Missing Horizon mengajak pengunjung untuk melihat kembali ruang pandang (atau cakrawala) yang memisahkan langit dan bumi yang telah hilang di kota karena tertutup bangunan pencakar langit.
Garis lurus batas pandang mata yang semakin mustahil terlihat di kota ini juga menjadi penanda yang ingin disampaikan Tita, sebagai garis batas antarkelas: kelas atas semakin menjangkau langit, sementara yang miskin makin terbenam ke bumi.
Pada karya ini, Tita menjembatani kerinduan akan cakrawala dengan membuat garis visual imajiner mendatar melingkar 360 derajat yang mengeliminasi benda-benda yang dilewatinya.
Pengalaman membayangkan cakrawala dengan menatap garis imajiner ini secara tidak langsung juga mengajak publik melihat kota tempat tinggal dan bekerja sehari-hari dengan lebih detil.
 Instalasi seni 'Kampung Vertikal' karya Budi Pradono dalam pameran ICAD 2016. (Foto/CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Imajinasi kota Terkait kota dan ingatan, Tromarama kelompok seni dari Bandung yang beranggotakan Febie Babyrose, Herbert Hans Maruli, dan Ruddy Hatumena menghadirkan artefak toko furnitur bekas di area Kemang Timur melalui karya instalasi arsip.
Dalam instalasinya ini, Tromarama mengadirkan imaji rekaman yang mencoba mengajak publik memaknai kembali kata modern. Sederhananya, satu benda menjadi modern di masanya, lalu tenggelam dimakan oleh benda lain yang kemudian muncul.
Berikutnya, imajinasi akan ruang dan kota disampaikan dengan jenaka oleh Eko Nugroho. Tapi, tentu saja karyanya ini juga bermuatan kritik satir lewat simbol dan tulisan bertajuk ‘Have a Sunny Day!’ dalam huruf-huruf besar.
Mural yang menempel di dinding bangunan Colony, sebelah kanan hotel ini ia beri judul
Menyusun Serpihan Pelangi. Dengan ukurannya yang besar hingga 19 meter, tak pelak karya Eko mencolok dan mencuri perhatian.
Permainan ikon mata yang menjadi ciri khasnya, adalah cara Eko mengajak publik turut berimajinasi akan indahnya perkotaan.
Dari ketujuh seniman, karya Oscar Lawalata mungkin menjadi yang paling membuat dahi berkernyit. Karyanya yang berbentuk bangunan hitam menyerupai Ka’bah itu tegak berdiri kokoh di tengah lobi hotel.
Kurator Hafiz Rancajale dalam pengantarnya menyebut, karya desainer fesyen ini merupakan kritik sosial terhadap kecendrungan gaya masyarakat perkotaan.
Menurutnya, lewat karyanya ini Oscar menghadirkan artefak-artefak rancangan bajunya dalam bentuk yang tidak biasa, yang merupakan refleksi kecendrungan komodifikasi ikon relijius ke dalam dunia mode Indonesia.
Kota, bagi Oscar, telah mengubah gaya hidup masyarakat yang tinggal di dalamnya, hingga kadang berkelindan dengan sisi relijius. Kritik Oscar lebih kepada individu, sehingga menikmati karyanya ini mestilah membutuhkan waktu cukup lama, dan melihat dari dekat, sembari mengelilingi keempat sisi bangunan.
Menikmati pameran seni kontemporer ICAD kali ini cukup menggembirakan, karena tidak hanya disuguhi karya-karya yang enak dilihat tapi juga mengusung pesan yang mudah dicerna. Setidaknya, usai beranjak dari pameran, ada sesuatu yang bisa dibawa pulang.
Pemanfaatan berbagai medium untuk menginterpretasi ruang dan kota menjadikan karya seni tak lagi berjarak dengan penikmatnya. Bahwa seni, yang estetik juga mengusung muatan kritik.