Jakarta, CNN Indonesia -- Adrien Jean Le Mayeur de Merpres datang ke Bali pada 1932 melalui pelabuhan Buleleng Singaraja, menuju Denpasar. Pelukis asal Bruxelles, Belgia itu menyewa sebuah rumah di Banjar Kelandis.
Di sanalah ia bertemu seorang penari legong Keraton bernama Ni Nyoman Pollok. Usianya 15 tahun kala itu. Le Mayeur pun menjadikannya model lukisan.
Lukisan-lukisan itu kemudian dipamerkan di Singapura. Ia mendapat sambutan baik. Namanya kian dikenal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usai pameran, Le Mayeur kembali ke Bali dan membeli sebidang tanah di pesisir Pantai Sanur. Ia mendirikan rumah di sana.
Di rumah itu Le Mayeur setiap hari melukis Ni Nyoman Pollok bersama dua temannya.
Kecantikan dan keindahan tubuh Ni Nyoman Pollok akhirnya membuat Le Mayeur terpikat. Ia semakin betah tinggal di Bali. Dari rencana tinggal sementara, Le Mayeur pun memutuskan menetap selamanya di Pulau Dewata.
Tiga tahun ia menjadikan Ni Nyoman Pollok sebagai modelnya. Sampai pada 1935, ia menikahi perempuan itu dengan upacara adat Bali.
Selama menjadi sepasang suami istri, Le Mayeur terus melukis Ni Nyoman Pollok. Hasil penjualan lukisan, sedikit demi sedikit mereka sisihkan untuk memperindah rumah.
Tapi tidak semua lukisan dijual. Yang dianggap paling bagus, dipasang sebagai koleksi pribadi. Jadilah, rumah mereka dipenuhi cinta dan karya seni.
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Djohan sampai terpikat saat mengunjungi rumah itu pada 1956. Ia pun meminta Le Mayeur agar rumahnya dijadikan museum.
Ide itu disambut dengan senang hati. Le Mayeur pun terpacu untuk terus berkarya, menambah dan meningkatkan mutu lukisannya.
Setahun setelah kunjungan Bahder itu, tepatnya pada 28 Agustus 1957, impian Le Mayeur menjadi kenyataan. Rumah itu punya akta hadiah No. 37, yang membuatnya dipersembahkan oleh Le Mayeur kepada Ni Nyoman Pollok.
Pada yang sama juga terbit akta persembahan (Sehenking) No. 38, yang isinya menyerahkan rumah beserta isinya—yang terdiri atas tanah, lukisan dan barang-barang bergerak lainnya—dari Ni Nyoman Pollok kepada Pemerintah Republik Indonesia, untuk dijadikan Museum.
Jadilah, di antara penjaja makanan, aksesoris, dan pakaian di pesisir Sanur, ada rumah bergaya artistik. Itu merupakan peninggalan dari sepotong kisah cinta turis dengan penduduk asli Denpasar. Kini namanya menjadi Museum Le Mayeur.
Sang pemilik sendiri menderita kanker telinga ganas setahun setelah menyerahkan rumahnya sebagai museum. Bersama sang istri ia pulang ke Belgia untuk berobat.
Dua bulan di Belgia, pada Mei 1958 Le Mayeur meninggal dunia dalam usia 78 tahun. Alih-alih menikmati masa tua di rumah cantiknya, ia dimakamkan di Belgia.
Sepeninggal kematian suaminya, hanya Ni Nyoman Pollok yang pulang ke Bali untuk mengurus rumah yang telah menjadi museum itu. Sampai ia menyusul kepergian Le Mayeur pada 28 Juli 1985, dalam usia 68 tahun.
Tapi bukti terawatnya cinta dua insan masih kuat di Museum La Mayeur itu.
Bangunan itu bergaya etnik. Banyak ukiran tradisional. Warnanya dominan merah. Di dalamnya terdapat kurang lebih 88 lukisan. Ada lukisan Ni Nyoman Pollok, pura Bali, keindahan pantai, dan keindahan alam lainnya.
Dari lukisan yang dipajang, bisa dilihat betapa Ni Nyoman Pollok merupakan pusat dunia La Mayeur. Salah satu lukisannya berjudul Pollok, dilukis di atas kanvas berukuran 75x90 cm. Ada lagi yang berjudul Di Sekitar Rumah Pollok (1957), juga lukisan kanvas berukuran sama.
Yang lebih besar lagi judulnya Memetik Bunga untuk Sembahyang/ Picking Flowers (1957).
Selain lukisan, museum itu juga memuat sejumlah koleksi pemiliknya berupa buku-buku tua, furnitur Bali, dan beberapa seni ukir.
Koleksi itu membuat bangunan sangat kental suasana khas Bali.
Di kiri pintu masuk misalnya, ada sebuah pendopo untuk para pengunjung bersantai usai keliling. Di dalam rumahnya sendiri terdapat empat ruangan dengan pintu sederhana. Tapi ukiran-ukiran cantik menghiasi sekeliling rumah dengan lukisan di dinding-dinding.
Museum yang terletak di Jalan Hang Tuah, Sanur Kaja, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali itu kini berada di bawah kelola pemerintah kebudayaan Bali.
Sayangnya, museum itu tidak terjaga dengan baik. Penataannya tampak kurang rapi. Kaca yang membingkai lukisan pun tampak kusam sehingga gambar asli lukisan hanya terlihat samar-samar. Belum lagi debu-debu yang berterbangan dan ruangan yang terasa sumpek.
Pengunjung pun tak disediakan jasa tour guide untuk dapat memahami lebih dalam sejarah soal museum itu. Pengalaman menikmati lukisan hanya dapat dirasakan langsung oleh masing-masing pengunjung bila saksama mengitari museum. Membaca sejarah singkat di ruangan pertama museum, adalah satu-satunya kunci memahami makna berdirinya museum bersejarah itu.
‘Museum cinta’ itu dibuka setiap hari, pukul 08.00 sampai 15.30 WITA, kecuali Jumat, pukul 08.30 sampai 12.00 WITA. Tiket masuk untuk wisatawan lokal berkisar dari Rp5 sampai Rp10 ribu dan wisatawan mancanegara Rp10 sampai Rp20 ribu. Khusus pelajar, Rp2 sampai Rp3 ribu.
(rsa)