Jakarta, CNN Indonesia -- Jangan biarkan harapan untuk tahun baru melayang begitu saja. Bila perlu, tulis besar-besar dan tempel di dinding agar teringat sepanjang tahun. Lebih baik lagi jika dari harapan itu, terbentuk pula sebuah kegiatan yang positif dan berguna untuk orang lain.
Menyumbang untuk anak disleksia, misalnya.
Di luar sana, disleksia masih sering disamakan dengan autisme, bahkan dianggap sebagai penyakit. Itu hanya merupakan kondisi di mana pelakunya punya masalah membedakan huruf, sehingga kesulitan membaca. Karena itulah anak dengan disleksia sering dianggap bodoh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi bukan berarti mereka tak punya keterampilan apa pun. Adalah Aqil Prabowo, pengidap disleksia yang terkenal dan dekat dengan dunia seni. Bocah berusia 12 tahun itu didiagnosis dengan disleksia sejak berusia tujuh tahun. Tapi ia tidak lantas drop.
Sang ibunda terus memacunya berkarya. Dan jadilah Aqil seniman muda. Lukisan-lukisannya sudah dipamerkan di mana-mana, termasuk yang terbaru di Hotel Artotel Thamrin, Jakarta, 1-7 Desember lalu. Tiap kanvas terasa mengagumkan untuk seorang bocah belia sepertinya.
Aqil kebanyakan melukis monokrom, hitam putih. Medianya kanvas dan spidol permanen. Garis-garisnya kuat dan tebal. Terkadang sengaja digariskan berulang-ulang sebagai penegasan. Garis-garis luwes itu tidak membentuk bangunan-bangunan nan simetris. Ia menggambar seperti imajinasi anak kecil. Binatang, orang, robot, atau makhluk yang ada di kepalanya.
Seekor tarantula misalnya, ia lukis dengan mata besar dan bulu lentik. Tapi kakinya tetap delapan. Cumi-cumi jadi berwajah ramah. Pahlawan super tanpa kepala. Dan sebagainya.
Aqil jarang membiarkan kanvasnya kosong. Semua dipenuhi dengan bentuk nan nyaris abstrak.
Belakangan, selain melukis di atas kanvas ia juga menggunakan media lain seperti kain bantalan kursi, kap lampu, helm, bahkan tong sampah. Tapi semua karakter lukisannya sama. Ia juga baru-baru ini belajar menggunakan warna, karena Aqil pun sulit membedakannya.
Aqil, yang menjadi inspirasi bagi film
Wonderful Life, punya sebuah yayasan untuk mendukung anak-anak disleksia. Pamerannya di Artotel, yang dalam pembukaannya dihadiri Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto—Atiqah berperan sebagai ibunda Aqil dalam
Wonderful Life—salah satunya bertujuan untuk itu. Demikian pula kertas-kertas harapan yang tersebar.
Artotel membuat papan besar berisi 1000 kotak post-it. Pengunjung bisa menuliskan harapannya di lembaran kertas itu lalu menempelkannya pada papan besar sehingga membentuk tulisan ‘HOPE.’ Per lembar kertas dihargai Rp5 ribu. Sehingga jika terkumpul semua, akan ada Rp5 juta yang disumbangkan untuk yayasan untuk anak-anak dengan disleksia itu.
Pameran Aqil yang bertajuk ‘HOPE for DYSLEXIART’ sudah selesai, namun kertas-kertas harapan masih bisa diisi pengunjung Artotel Thamrin sampai akhir Desember mendatang.
Kalau Artotel Thamrin mengganti mimpi tahun baru pengunjung dengan uang untuk anak disleksia, berbeda dengan Artotel di tempat-tempat lain. Di Surabaya, hotel berkonsep seni itu menyelenggarakan bazar seni yang menggandeng para perajin lokal termasuk perajin seni batik dari bekas kawasan prostitusi terbesar di Asia yang ada di Surabaya, Dolly.
Sebesar 10 persen hasil bazar akan disumbangkan ke Yayasan Peduli Kanker Anak Indonesia.
Sementara Artotel Sanur, Bali yang baru diresmikan beberapa bulan lalu, menyumbangkan hasil kertas HOPE-nya kepada Yayasan Pembinaan Anak Cacat Khusus Tuna Grahita (YPAC) Jimbaran. Demikian pula dengan hasil penjualan kerajinan tangan yang mereka buat.
(rsa)