Jakarta, CNN Indonesia -- Buku adalah ‘penyelamat’ Barack Obama selama delapan tahun ia menjadi Presiden Amerika Serikat. Ia membaca di kala stres, banyak pikiran, maupun kesepian. Buku adalah tempatnya merasa nyaman. Selama delapan tahun ia menemukan pertolongan dan panduan dari buku.
“Saat kegiatan bergerak sangat cepat dan begitu banyak informasi disalurkan,” kata Obama saat diwawancara terakhir sebagai Presiden AS oleh The New York Times, membaca membantunya “sedikit tenang dan mendapatkan perspektif.”
Buku juga membuatnya bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dengan demikian, Sang Presiden pun bisa lebih berempati. Meskipun, Obama tidak bisa menjamin apakah membaca membuatnya menjadi presiden yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Yang bisa saya katakan adalah, mereka [buku] membiarkan saya mengatur keseimbangan selama delapan tahun ini, karena ini adalah tempat yang datang kepada Anda dengan keras dan cepat dan tidak membiarkan Anda berhenti,” kata presiden ke-44 AS itu.
Obama tidak menjelaskan secara detail buku apa yang membantunya di titik-titik terendah saat ia menjabat sebagai presiden. Ia hanya mengatakan bahwa pekerjaannya terkadang bisa sangat mengisolasi. Karena itu, ia lebih sering ‘meminta saran’ pada pendahulunya.
“Terkadang Anda harus semacam melompati sejarah untuk menemukan ‘rekan’ yang punya perasaan terisolasi yang sama. Dan itu sangat berguna,” katanya. Menurut Obama, Abraham Lincoln, Martin Luther King Jr, Gandhi, dan Nelson Mandela membuatnya ‘terkoneksi.’
“Churchill [Winston] adalah penulis yang bagus. Dan saya suka sekali membaca tulisan Teddy Roosevelt,” ujar Obama melanjutkan. Membaca karya presiden-presiden sebelumnya dianggapnya sangat membantu melewati masa-masa sulit.
Obama sendiri juga menulis. Dalam bukunya Dreams from My Father, Obama menulis bahwa saat muda ia suka membaca karya penulis seperti James Baldwin, Richard Wright, W.E.B. Du Bois, dan Malcolm X.
“Itu sebagai upaya meningkatkan diri seya sebagai pria kulit hitam di Amerika,” ia menjelaskan.
Ia juga membaca buku-buku filosofis yang menjadi hasil pemikiran Saint Augustine, Friedrich Nietzsche, sampai Jean-Paul Sartre. Tapi bukan buku-buku ‘berat’ itu yang banyak memengaruhinya. Tanpa ragu ia mengatakan: William Shakespeare.
Padahal awalnya, Obama menganggap pentas yang dihasilkan dari karya Shakespeare membosankan. Tapi setelah lulus SMA, ia justru mengambil kelas Shakespeare saat kuliah. Di sanalah ia menemukan betapa karya-karyanya menarik.
Hobi membaca yang sudah dipeliharanya sejak kecil itu, diteruskan sampai menjadi presiden. Obama biasanya membaca di malam hari. Setidaknya sejam per hari. Lebih sedikit lagi waktu untuk menulis di Gedung Putih. Setelah lengser, ia berencana menerbitkan memoar.
Buku itu nantinya didasarkan pada jurnal tebal yang ia tulis, meski tidak rutin.
Setelah masa-masa melelahkan sebagai presiden berakhir, Obama pun berencana menghabiskan banyak waktu luangnya untuk membaca. “Ada sesuatu yang khusus tentang membuat diri Anda tenang dan punya waktu yang berbeda dari musik atau televisi atau bahkan film,” katanya.