Jakarta, CNN Indonesia -- Upaya untuk memahami seni budaya Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah seni masa lampau. Bagaimana mungkin dapat memahami karya seni hari ini, jika tidak melihat apa yang sudah ada dan dibangun di masa silam.
Pemikiran itulah yang kemudian disampaikan Melati Suryodarmo, Direktur Artistik Jakarta Biennale 2017, sebagai pijakan gelaran pameran seni akbar dua tahunan yang akan digelar pada 4 November – 11 Desember mendatang di Jakarta.
Ia mengatakan, ‘Jiwa’ sebagai tema yang diusung Jakarta Biennale 2017 merupakan landasan pertukaran pemikiran tentang berbagai isu dan pertanyaan atas seni dan budaya kontemporer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Seperti gelaran tahun sebelumnya, kali ini kami juga akan tetap membuat kemudahan akses buat publik dalam mengapresiasi karya seni, dan membuatnya mudah dalam hal menyampaikan pesan,” ujar Melati saat ditemui di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki Jakarta, akhir pekan lalu.
Bertindak sebagai Direktur Artisik, Melati ditunjuk karena kiprahnya sebagai seniman pertunjukan seni yang berpengalaman baik di kancah seni lokal, maupun global. Baru-baru ini, bersama Ade Darmawan dan Eddy Susanto, ia juga menjadi salah satu seniman yang memamerkan karya di Singapore Biennale 2016.
“Menghadirkan perjalanan awal sejarah seni rupa Indonesia, bertujuan menemukan keterhubungannya dengan masa kini,” ungkap Melati beralasan.
Beberapa hal yang akan dihadirkan diantaranya melalui berbagai jalur silsilah budaya, polemik yang pernah muncul pada tokoh dan peristiwa seni, serta kritik seni yang pernah ada
baik yang terungkap maupun yang tersembunyi atau terlupakan.
Jika gelaran sebelumnya Jakarta Biennale menghadirkan karya 70-an seniman, tahun ini kata Melati ia dan tim kurator akan memilih 45 seniman, dari dalam dan luar negeri. Jumlah ini diputuskan atas beberapa pertimbangan, termasuk skala perhelatan pameran dan bujet.
Selain pameran seni, gelaran dua tahunan itu juga mengusung sejumlah program lainnya yang juga terkait dengan tema Jiwa, di antaranya seri penerbitan buku terkait penulisan kritis tentang sejarah seni Indonesia masa kini.
Jakarta Biennale 2017 dijadwaklan akan berpusat di Gudang Sarinah Ekosstem, dan di sejumlah museum di Jakarta, seperti Museum Sejarah Jakarta, Museum tekstil, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Taman Prasasti, dan Museum Wayang.
Empat kurator terpilihbaca berikutnya...
Menjelang akhir 2016, proses menuju Jakarta Biennale 2017 berproses dengan memilih kurator yang akan menjadi sosok penting dalam pameran. Yayasan Jakarta Biennale, bersama
Dewan Kesenian Jakarta sebagai penyelenggara membuka kesempatan pada kurator dalam dan luar negeri untuk mengirimkan aplikasi.
“Dari aplikasi yang masuk, hamper semua kurator bagus, dan susah memilihnya, akan tetapi kembali diputuskan berdasar tema,” ujar Melati.
Dari sekitar puluhan aplikasi itu, terpilih empat kurator, yakni Annisa Gultom dan Hendro Wiyanto dari Jakarta, dan Philippe Pirotte dari Frankfurt, dan Vit Havranek dari Praha.
“Untuk Hendro saya sudah bayangkan dia pas sebagai kurator dan dipilih langsung, ia sudah berpengalaman akan ini,” ungkapnya.
Merunut rekam jejaknya, Hendro Wiyanto merupakan penulis seni rupa dan juga seorang kurator lepas. Ia pernah menulis tentang karya-karya seniman kontemporer Indonesia, seperti Alit Sembodo, FX Harsono, Heri Dono, Jogja Agro-pop, Melati Suryodarmo, Ugo Untoro, S Teddy dan lainnya.
Sementara Anissa Gultom adalah seorang kurator yang mendapatkan gelar Master di Museum Communication di University of the Arts, Philadelphia AS. Ia terlibat dalam jangka waktu panjang dalam proyek penelitian di museum dan menyusun perencanaan beberapa museum baru di Indonesia.
Philippe Pirote, kurator dari Jerman menjabat sebagaii direktur di Stadelschule di Frankfurt. Ia belajar sejarah seni di Universitas Ghent, dan ikut mendirikan pusat seni di Antwerpen
pada 1999. Saat ini, ia menjabat sebagai penasehat direktur program untuk Sifang Art Museum di Nanjing.
Seorang kurator lainya, yakni Vit Havranek dari Praha merupakan direktur sebuah inisiatif seni rupa kontemporer bernama transit. Vit pernah mengkuratori sejumlah pameran di antaranya pameran di Museum di Montreal, New York, Spanyol, dan Praha.
Minim kurator dan apresiasiBicara soal kurator, Melati berpendapat meski banyak aplikasi yang masuk, Indonesia masih kekurangan dalam hal jumlah. “Persoalannya, karena di sini belum ada pendidikan khusus kurator, meski baru ada satu di ITB,” ujarnya.
Peran kurator dinilai Melati menjadi penting untuk pameran dan menjembatani karya dengan public sebagai penikmatnya.
Hingga saat ini, ada anggapan karya seni kerap dianggap berjarak dengan publik, entah karena eksklusif atau sulit dimengerti. Mengenai ini, Melati mengatakan setiap karya seni memiliki wilayah dan penikmatnya sendiri.
“Ada frame tertentu dan ruang sendiri, penikmat teater ya mereka yang menyukai teater, begitu juga wayang atau lainnya, masing-masing berbeda,” tutur dia.
Namun, di Jakarta Biennale akan menampung semua penikmat seni, termasuk yang masih awam sekaipun. Hanya saja, kata dia, public mesti dibiasakan untuk berhadapan dengan karya seni dan menjaganya supaya tidak dipegang atau dirusak.
“Menikmati karya seni dengan kesadaran ini harus dibiasakan,” tuturnya.