Menjelang akhir 2016, proses menuju Jakarta Biennale 2017 berproses dengan memilih kurator yang akan menjadi sosok penting dalam pameran. Yayasan Jakarta Biennale, bersama
Dewan Kesenian Jakarta sebagai penyelenggara membuka kesempatan pada kurator dalam dan luar negeri untuk mengirimkan aplikasi.
“Dari aplikasi yang masuk, hamper semua kurator bagus, dan susah memilihnya, akan tetapi kembali diputuskan berdasar tema,” ujar Melati.
Dari sekitar puluhan aplikasi itu, terpilih empat kurator, yakni Annisa Gultom dan Hendro Wiyanto dari Jakarta, dan Philippe Pirotte dari Frankfurt, dan Vit Havranek dari Praha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Untuk Hendro saya sudah bayangkan dia pas sebagai kurator dan dipilih langsung, ia sudah berpengalaman akan ini,” ungkapnya.
Merunut rekam jejaknya, Hendro Wiyanto merupakan penulis seni rupa dan juga seorang kurator lepas. Ia pernah menulis tentang karya-karya seniman kontemporer Indonesia, seperti Alit Sembodo, FX Harsono, Heri Dono, Jogja Agro-pop, Melati Suryodarmo, Ugo Untoro, S Teddy dan lainnya.
Sementara Anissa Gultom adalah seorang kurator yang mendapatkan gelar Master di Museum Communication di University of the Arts, Philadelphia AS. Ia terlibat dalam jangka waktu panjang dalam proyek penelitian di museum dan menyusun perencanaan beberapa museum baru di Indonesia.
Philippe Pirote, kurator dari Jerman menjabat sebagaii direktur di Stadelschule di Frankfurt. Ia belajar sejarah seni di Universitas Ghent, dan ikut mendirikan pusat seni di Antwerpen
pada 1999. Saat ini, ia menjabat sebagai penasehat direktur program untuk Sifang Art Museum di Nanjing.
Seorang kurator lainya, yakni Vit Havranek dari Praha merupakan direktur sebuah inisiatif seni rupa kontemporer bernama transit. Vit pernah mengkuratori sejumlah pameran di antaranya pameran di Museum di Montreal, New York, Spanyol, dan Praha.
Minim kurator dan apresiasiBicara soal kurator, Melati berpendapat meski banyak aplikasi yang masuk, Indonesia masih kekurangan dalam hal jumlah. “Persoalannya, karena di sini belum ada pendidikan khusus kurator, meski baru ada satu di ITB,” ujarnya.
Peran kurator dinilai Melati menjadi penting untuk pameran dan menjembatani karya dengan public sebagai penikmatnya.
Hingga saat ini, ada anggapan karya seni kerap dianggap berjarak dengan publik, entah karena eksklusif atau sulit dimengerti. Mengenai ini, Melati mengatakan setiap karya seni memiliki wilayah dan penikmatnya sendiri.
“Ada frame tertentu dan ruang sendiri, penikmat teater ya mereka yang menyukai teater, begitu juga wayang atau lainnya, masing-masing berbeda,” tutur dia.
Namun, di Jakarta Biennale akan menampung semua penikmat seni, termasuk yang masih awam sekaipun. Hanya saja, kata dia, public mesti dibiasakan untuk berhadapan dengan karya seni dan menjaganya supaya tidak dipegang atau dirusak.
“Menikmati karya seni dengan kesadaran ini harus dibiasakan,” tuturnya.
(rah)