Adegan kemudian beralih ke set sebuah bangunan kayu tua. Pria dengan pistol melemparkan tembakan ke sembarang tempat, diikuti sepasang pengantin berpakaian serba putih.
Pasangan itu ternyata Mekhit dengan Poli. Keduanya hendak menikah di kandang kuda, setelah diamankan oleh anak buah Mekhit. Poli begitu terkejut, momen suci yang diharapkannya begitu indah malah berakhir di kandang kuda. Tapi kata orang, tahi kucing pun terasa cokelat jika sedang jatuh cinta, bukan? Apalagi Mekhit sendiri penuh kejutan.
Anak buahnya ternyata sudah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pesta perkawinan. Dari dekorasi, kursi pelaminan, kado-kado, juga meja perjamuan. Tak masalah jika semua itu hasil curian. Bahkan pendeta yang akan memberkati pun korban penculikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kandang kuda sebenarnya menjadi kamuflase. Mekhit ingin menyelenggarakan pernikahan itu diam-diam. Namun, ujung-ujungnya orang tua Poli pun mengetahuinya.
Picum datang dengan marah dan dendam, sebab perkawinan itu dilaksanakan tanpa izinnya. Dengan segala daya upaya, dia berusaha memisahkan Poli dari Mekhit. Dia pun meminta tolong istrinya untuk mencari siasat agar Mekhit bisa dijebloskan ke dalam penjara.
Yang kuharapkan tidak mulukKuingin lelaki yang sudi mengawiniBerbagi suka dan dukaBegitu tinggikah anganku?Lantun Poli ketika mengetahui rencana ayahnya menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya.
 Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri Cuplikan pentas Opera Ikan Asin. |
Tak mau tangannya kotor sendiri, Picum menggunakan kekuasaan Komisaris Polisi Kartamarma, yang dikenal dengan julukan Macan Coklat. Ia merupakan sahabat dekat Mekhit. Mereka bekerja sama, mulai membocorkan informasi penggerebekan polisi sampai pembagian upeti.
Picum lantas mengancam Kartamarma. Jika Mekhit tak ditangkap, ia akan mengerahkan massa pengemisnya ke jalan, berdemonstrasi, mengacaukan penobatan Gubernur Jendral yang baru.
Terpaksa, Kartamarma mengabulkan tuntutan Picum. Mekhit ditangkap. Tapi sebagai Raja Bandit, dia sempat lolos dari balik jeruji. Salah satunya dengan uang menyogok sipir.
Waktu kecil aku tak percayaUang adalah segala-galanyaTapi kini aku mulai percayaUang adalah segala-galanyaLantun Mekhit, melihat kenyataan bahwa dengan uang ia bisa melakukan apa pun, termasuk kebebasannya yang begitu mudah dari balik jeruji.
Pada akhirnya, Mekhit memang tertangkap kembali. Bahkan kali ini dijatuhi hukuman mati. Saat nyawanya nyaris melayang, datang Surat Keputusan Gubernur Jendral yang isinya 'Mekhit dibebaskan dari hukuman gantung.’ Tak sekadar bebas, dia bahkan dianugerahi gaji dan jabatan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda).
Akhir kisah itu bukan air mata, melainkan kebahagiaan, yang dapat dibeli. Kenyataannya, penguasa dapat berdiri di atas hukum. Bahkan sanggup mengubah keputusan hukum.