Sindiran 'Asin' Teater Koma Pada Hukum & Kekuasaan Hari Ini

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Kamis, 02 Mar 2017 15:15 WIB
Teater Koma mementaskan Opera Ikan Asin, yang berisi sindiran tajam terhadap bagaimana uang bisa membeli kekuasaan dan hukum di Indonesia.
Opera Ikan Asin yang dipentaskan Teater Koma. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
Selama hampir tiga jam, pementasan 'Opera Ikan Asin' yang diusung Teater Koma begitu kental menyinggung kondisi perpolitikan dan hukum di Indonesia kini. Sutradara Nano Riantiarno menarik potret itu lewat kehidupan ibu kota Jakarta di masa lampau.

Pementasan dibagi dalam dua babak. Babak pertama berlangsung selama hampir dua jam, dan bagian ke-dua selama satu jam 30 menit. Bila sebelumnya Teater Koma kerap menaruh bumbu komedi yang begitu sarkasme, itu terasa kurang di ‘Opera Ikan Asin’ ini.

Pementasan yang disadur Nano dari dari lakon Die Dreigroschenoper atau The Threepenny Opera (1928) karya Bertolt Brecht dengan komposisi musik dari Kurt Weill, agaknya kehilangan jiwa yang biasanya hadir dari setiap pentas Teater Koma.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cerita terbilang membosankan. Meski tata panggung, kostum, musik juga aksi setiap pemain tetap memukau, bahkan tampaknya lebih megah dari pentas-pentas sebelumnya.

Konflik yang dibangun pun kurang membangkitkan emosi, adegan demi adegan terasa kurang klimaks. Opera kali ini seakan hanya membalut potret realita hukum yang diatur bukan lagi dengan aturan, melainkan uang dan kekuasaan. Namun balutan ceritanya kurang greget.

Di Opera Ikan Asin, ada sindiran tajam soal uang dan kekuasaan.Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri
Di Opera Ikan Asin, ada sindiran tajam soal uang dan kekuasaan.
Bila dibandingkan dengan ‘Opera Kecoa,’ karakter yang menarik pun jauh berbeda, padahal garis besar ceritanya kurang lebih sama. Hanya satu yang tampaknya memberi kesan menarik dari tokoh di ‘Opera Ikan Asin,’ sosok istri pertama Mekhit yang muncul di penjara.

Sosok istrinya yang bernama Lusi itu, lebih menggambarkan realita menarik dari seorang istri yang dikhianati tapi masih luluh dengan buaian mulut manis suaminya. Terlebih, ketika tiba-tiba Poli hadir di tengah kondisi itu. Mekhit bertingkah lucu dengan pura-pura tidur tak mengetahui apa yang diributkan dua istrinya itu.

Secara keseluruhan, refleksi realita kehidupan hari ini dapat dibawa dengan baik oleh Nano dalam pentas tersebut. Detail dari gambaran kondisi kehidupan Jakarta masa Hindia-Belanda tergambar sangat baik. Dari kostum, riasan, juga set lokasi.


Hanya saja, sindiran itu kurang diimbangi cerita yang menghibur ala komedi sarkasme Teater Koma. Ada jiwa yang seolah hilang dari pertunjukan ini. Mungkin karena cerita ini saduran, sehingga ada hal yang tak tersampaikan dan terpaku pada cerita aslinya.

Namun semestinya, dengan tindak tanduk Nano, dia punya kuasa sebagai sutradara untuk membawa cerita itu lebih greget. Terlebih, cerita ini telah dipentaskan sebelumnya pada 1983 dan 1999. Dia pun telah menariknya ke konteks yang dekat dengan kehidupan Ibu Kota.

Pementasan yang menjadi produksi Teater Koma yang ke-147 ini digelar di Ciputra Artpreneur Jakarta mulai dari 2 hingga 5 Maret 2017. pukul 19.30 WIB kecuali hari Minggu, pukul 13.30 WIB. Tiket terbagi dalam enam kategori dengan harga mulai dari Rp 150 hingga 850 ribu. (rsa)

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER