Alasan Indonesia Melempem di Asian Film Awards

CNN Indonesia
Kamis, 23 Mar 2017 19:50 WIB
Wakil Indonesia gagal menembus nominasi Asian Film Awards beberapa tahun belakangan. Sineas Indonesia terakhir menang lewat film Lovely Man pada 2012.
The Raid menjadi salah satu film yang memenangkan Asian Film Awards 2015 di kategori Editor Terbaik. (Foto: Dok Merantau Films)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam gelaran Asian Film Awards 2017 yang dilangsungkan pada Selasa (21/3) lalu di Hong Kong Cultural Centre, film-film Indonesia belum berhasil menorehkan namanya kembali. Puncak kesuksesan bagi Indonesia di ajang itu terjadi pada 2012.

Kala itu, aktor Donny Damara memenangkan piala pertama Indonesia sebagai Aktor Terbaik berkat aktingnya di film Lovely Man. Sutradara film itu, Teddy Soeriaatmadja pun berhasil dinominasikan di kategori Sutradara Terbaik.

Pada 2014, film What They Don't Talk About When They Talk About Love karya sutradara muda Mouly surya juga pernah masuk di beberapa nominasi, meski tanpa memboyong piala.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terakhir kali, Indonesia menandai keeksisannya lewat The Raid 2: Berandal yang menembus nominasi di kategori Sinematografi Terbaik (Matt Flannery dan Dimas Imam Subhono) dan Editor Terbaik (Gareth Evans), pada 2015.


Namun setelah itu, Indonesia belum masuk kembali, baik sebagai pemenang ataupun nominasi. Padahal, banyak pihak menilai perfilman Indonesia kini tengah bangkit.

Menanggapi menurunnya eksistensi Indonesia dalam Asian Film Awards beberapa tahun belakangan, pengamat film Adrian Jonathan Pasaribu berpandangan bahwa tak seperti Korea Selatan dan China, sineas Indonesia masih belum memiliki jaringan yang dapat membuka akses dunia internasional agar dapat mengenal film lokal.

"Ada berapa media Indonesia yang mengulas film Indonesia dalam bahasa Inggris? Itu belum ada, sehingga belum membuat orang luar, 'Oh ada film Indonesia.' Ada alasan kenapa film Indonesia di luar negeri hanya seputar Garin [Nugroho] dan The Raid, karena mereka pernah dibahas media Internasional," ujarnya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Kamis (23/3).

Selain jaringan informasi internasional, Indonesia pun dianggap belum memiliki jaringan distribusi konten yang kuat seperti Korea Selatan dengan jaringan CJ Entertainment mereka.


Selain itu, di Asia Tenggara, Filipina dan Singapura juga telah mulai dilirik industri film internasional melalui festival-festival film yang diikuti dan jaringan media yang dimiliki.

"Satu yang pasti mereka terhubung jaringan internasional, Filipina lewat festival filmnya, dan Singapura didukung dengan ada banyak media internasional di sana. Malaysia juga begitu, sineas ikut mendirikan distribusi," katanya.

Alasan lainnya adalah faktor budaya Indonesia yang digambarkan melalui bahasa dan visualisasi. Adrian berpandangan, untuk menembus pasar luar negeri, sineas Indonesia masih perlu belajar menyesuaikan cara penyampaian pesan dengan selera audiens asing.

"Film Indonesia bukan jelek, hanya bahasa yang berbeda, sehingga pesannya kurang didapat oleh mereka, dari komedinya, konotasinya, bahasa ucap, bahasa film," ujarnya.


Dia menambahkan, dominasi nominasi dan kemenangan yang diraih China, Korea Selatan serta Jepang di Asian Film Awards tahun ini bisa jadi dikarenakan budaya mereka yang jauh lebih mudah dipahami oleh penonton luar negeri.

Meski demikian, Adrian menganggap bahwa perfilman Indonesia mengalami kebangkitan tahun lalu, di mana statistik penjualan tiketnya melebihi capaian 2008 dan 2009.

Lebih lanjut, ia menuturkan, larisnya film Indonesia tahun lalu turut dipengaruhi oleh selera penonton yang tepat sasaran, di mana sepuluh film terlaris bergenre komedi dan drama remaja. Menurutnya, genre tersebut cukup diminati penonton dalam negeri.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER