Jakarta, CNN Indonesia -- Festival Film Cannes, meski terpusat di Perancis alih-alih di Hollywood, menjadi salah satu tolok ukur dunia untuk menilai film-film berkualitas dari berbagai negara. Ribuan film terbaik diseleksi untuk tayang dalam dua pekan perayaan Festival Film Cannes.
Indonesia tak ketinggalan. Sejak digelar 70 tahun lalu, Indonesia sudah punya empat film panjang dan beberapa film pendek yang terpilih menjadi wakil dan berlaga di Cannes.
CNNindonesia.com mencoba mengupas film-film yang membawa nama Indonesia
mejeng di Cannes.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Marlina Si Pembunuh dalam Empat BabakSetelah 12 tahun tanpa wakil untuk film panjang di Cannes, Indonesia kembali menunjukkan tajinya lewat film garapan Mouly Surya ini.
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak berhasil lolos seleksi kategori Quinzaine des réalisateurs atau Directors Fortnight.
Ajang itu berhasil mengorbitkan sutradara ternama seperti Werner Herzog, George Lucas dan Spike Lee.
Filmnya sendiri berkisah tentang Marlina, seorang janda asal Sumba yang diperankan Marsha Timothy. Marlina mencari keadilan setelah rumahnya diserang perampok. Dia memenggal kepala seorang lelaki dan membawa kepala itu ke mana pun dia pergi.
Di film itu Marsha beradu peran dengan Dea Panendra, Yoga {ratama, dan Egi Fedly.
Cerita film itu ditulis oleh Mouly dan Rama Adi berdasarkan ide dari sineas senior Garin Nugroho. Film itu rencananya tayang di Indonesia akhir tahun ini. Selain itu, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak juga tayang di Eropa, ditangani produser Rama dan Fauzan Zidni.
Bersambung ke halaman selanjutnya...
Prenjak (In the Year of Monkey)Tak hanya tampil di Cannes,
Prenjak berhasil menyabet gelar Film Pendek Terbaik di Semaine de la Critique 2016. Prenjak berhasil menyingkirkan sembilan film lainnya yang diputar di Cannes. Film itu lolos seleksi di antara 1.500 film pendek dari seluruh dunia.
Film berdurasi 12 menit karya sutradara muda Wregas Bhanuteja yang masih berusia 22 tahun itu memikat hati para juri lewat ceritanya tentang seorang gadis desa yang putus asa. Ia lantas menjual korek api seharga Rp10 ribu per batang. Pembeli bisa mengintip vaginanya.
The Fox Exploits the Tiger's MightSetahun sebelum Prenjak, film pendek Indonesia lainnya,
The Fox Exploits the Tiger's Might juga masuk dalam kategori yang sama.
Film berdurasi 25 menit karya Lucky Kuswandi itu berkisah tentang dua anak laki-laki pra remaja. Adalah David, anak dari petinggi tentara dan Aseng anak dari penjual tembakau dan minuman keras selundupan. Mereka bergulat dengan perkembangan seksualitas.
Film ini juga menggambarkan hubungan antara seks dengan kekuasaan di sebuah kota kecil berbasis militer.
Serambi Mendapat respons yang kurang bagus di Indonesia, Serambi justru menggema di Cannes Film Festival 2006. Film dokumenter karya empat sutradara—Garin Nugroho, Tonny Trimarsanto, Lianto Suseno, dan Viva Westi—itu melangkah ke Cannes untuk kategori Un Certain Regard.
Serambi berkisah tentang tiga orang Aceh yang berusaha melanjutkan hidup pascatsunami 2004. Film ini dikemas dalam bentuk dokumenter dan fiksi secara bersamaan.
Masing-masing sutradara mengikuti satu tokoh. Garin mengikuti seorang pemuda bernama Reza Idria, Tonny fokus pada seorang pengemudi becak motor yakni Usman, sementara Viva menyorot anak kecil bernama Maisarah Untari. Sedangkan Lianto mengambil rekaman dari para saksi.
Film berdurasi 80 menit itu diproduseri oleh Christine Hakim.
Bersambung ke halaman selanjutnya... Daun di Atas BantalDelapan tahun sebelum
Serambi, duet sutradara Garin Nugroho dan produser Christine Hakim juga pernah menghiasi Cannes lewat
Daun di Atas Bantal. Film itu digarap di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1998. Produksi bahkan harus diselesaikan di Australia.
Daun di Atas Bantal menceritakan tiga orang anak jalanan yakni Sugeng, Heru dan Kancil yang diperankan oleh diri mereka sendiri. Anak jalanan itu berjuang untuk lepas dari kemiskinan di Yogyakarta dengan mengemis, menjual ganja dan beragam pekerjaan lainnya.
Mereka dibantu oleh Asih yang diperankan Christine. Tapi, perjuangan itu berakhir tragis.
Film ini berhasil tayang di Cannes pada sesi Un Certain Regard. Tak hanya Cannes yang terpincut
Daun di Atas Bantal. Asia-Pacific Film Festival juga menobatkan film ini sebagai Film terbaik dan Christine sebagai Aktris Tebaik. Singapore International Film Festival dan Tokyo International Film Festival juga memberi penghargaann untuk Garin Nugroho.
Tjoet Nja' DhienFilm epos biografi
Tjoet Nja' Dhien jadi film Indonesia pertama yang tayang di Cannes dalam kategori Semaine de la Critique pada 1988. Film garapan Eros Djarot itu berkisah tentang perjuangan pahlawan asal Aceh, Tjoet Nja' Dhien yang diperankan oleh Christine Hakim. Dia bermain bersama Slamet Rahardjo yang memainkan Teuku Umar.
Tjoet Nja' Dhien dan kawan-kawannya melawan tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh pada masa itu. Film berdurasi 150 menit itu berhasil menyabet Piala Citra Film Terbaik pada 1988. Film ini juga sempat diajukan ke Academy Awards tahun 1990 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik, namun tidak lolos sebagai nominasi.