Nasyid, Musik Religi yang (Masih) Berjuang untuk Diakui

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Minggu, 28 Mei 2017 10:18 WIB
Nasyid pernah menjadi hiburan masyarakat beberapa tahun silam. Namun di tengah gempuran perubahan zaman, senandung nasyid bersaing dengan musik 'Barat.'
Ilustrasi tim nasyid. (Dok. Izzatul Islam)
Jakarta, CNN Indonesia --

Senandung musik Islami seperti nasyid sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Namun, musik yang identik dengan pengingatan akan nilai-nilai agama Islam ini ternyata masih berjuang untuk diakui dibanding hanya sekadar hiburan jelang momen Ramadan.

Hendra Mapla, ketua Asosiasi Nasyid Nusantara saat berbincang dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu mengatakan bahwa meski masyarakat Indonesia yang didominasi Muslim mengenal nasyid, namun nasib musik ini sendiri tidak sepopuler musik ‘Barat’ seperti pop.

“Tantangan yang ada sampai saat ini untuk musik nasyid adalah bagaimana menyejajarkan nasyid dengan musik yang lain, stigma eksklusif masih ada, tapi ya memang ini pilihan kami untuk mendedikasikan diri ke nasyid,” kata Handra.

Hendra menuturkan, menjadi munsyid atau pelantun nasyid di Indonesia bukan tanpa hambatan. Menyanyikan lagu bernuansa religi dengan niat mensyiarkan nilai agama ternyata dianggap sebagai sebuah hal yang eksklusif di mata sebagian orang.

Berkembang Bersama Malaysia

Menurut Hendra, nasyid di Indonesia muncul bersamaan dengan perkembangan hiburan Islami tersebut dari Malaysia sekitar dekade '80-'90-an. Kala itu, di Malaysia tengah populer kelompok nasyid The Zikr dan NadaMurni yang berafiliasi dengan gerakan Islam Al-Arqam di Negeri Jiran.

Namun, Pemerintah Malaysia memutuskan membubarkan Al-Arqam pada 1994 dan berimbas pada berakhirnya era The Zikr dan NadaMurni. Meski sudah bubar, semangat nasyid yang mengumandangkan nilai Islam untuk ‘melawan’ musik Barat seperti pop tersebut masih berkobar dan kemudian membentuk grup nasyid Raihan.

Sedangkan di Indonesia, nasyid disebut Hendra dipelopori oleh para aktivis lembaga keagamaan atau dakwah di kampus-kampus pada era 80-an. Kala itu, nasyid populer di kalangan aktivis dakwah kampus seiring dengan semangat pembelaan terhadap Palestina.

“Nasyid sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti senandung. Biasanya, dalam perjalanan, para musafir bersenandung seiring derap langkah unta,” kata Hendra. “Dahulu, yang berkembang justru nasyid untuk penyemangat jihad di Palestina,”

[Gambas:Youtube]

Nasyid kemudian berkembang lebih luas lagi. Hendra menyebut nasyid terbagi menjadi beberapa jenis. Pertama, adalah nasyid berbentuk mars yang berisi semangat berjihad dan bertema Palestina. Beberapa grup nasyid kelompok ini adalah Izzatul Islam dan Shoutul Harokah.

Kedua, adalah nasyid dengan bentuk perkusi lengkap dengan pakaian baju koko dan peci yang terkenal di Malaysia seperti yang dikenal melalui Raihan. Terakhir, adalah akapela yang dipopulerkan oleh kelompok Snada di Indonesia.

Nasyid sendiri diakui Hendra memiliki kontroversi, mengingat ada perbedaan pendapat oleh para ulama Islam terhadap musik. Namun, Hendra dan para munsyid lain mengambil pendapat yang kemudian diterapkan hingga saat ini.

“Kalau ditanya pakemnya bagaimana, agak susah karena nasyid kini sangat berkembang. Namun dari dahulu hingga sekarang, nasyid itu lagunya mesti baik, artinya dinyanyikan sesuai kaidah Islam: tidak ada khalwat (campur baur laki-laki dan perempuan yang tidak sah secara agama, red), kata-kata kasar, dan minuman keras,” kata Hendra.

[Gambas:Youtube]

Naik dan Turun


Berkembang dari kampus dan kemudian menjalar ke berbagai lapisan masyarakat hingga mendapatkan popularitas di akhir dekade 90-an dan awal 2000-an, ketika nasyid masuk ke media-media nasional seperti televisi.

“Nasyid naik ke permukaan karena ada perlawanan terhadap musik yang menggambarkan kondisi seperti perselingkuhan, dan lain-lain. Jadi nasyid ini sebagai alternatif musik,” kata Hendra.

“Dan saat 2004-2005, TV nasional melirik nasyid. Ini juga didorong oleh Aa Gym yang memang menyenangi dan banyak membuat karya nasyid. Setelah itu, trennya turun namun komunitas tetap ada sampai sekarang,” lanjutnya. “Namun dahulu nasyid hanya ada di Ramadan saja, saat ini di luar Ramadan nasyid tetap ada,”

[Gambas:Youtube]

Kondisi nasyid memang sudah tidak seramai di televisi seperti pada di awal milenium. Konser-konser nasyid kebanyakan diadakan secara off-air dan dihadiri mereka yang memang mengemari nasyid.

Dan tidak seperti genre musik industri seperti pop yang banyak menjadi ladang penghasilan bagi musisinya, nasyid sedikit berbeda. Ada lebih banyak munsyid yang memilih jalur indie untuk bernasyid dan memiliki pekerjaan lain sebagai sumber penghasilan.

Selain karena sebagai bentuk idealisme mereka, Hendra mengatakan masih sedikit label besar yang percaya bahwa nasyid dapat memberikan keuntungan secara industri. Di sisi lain pun, masyarakat juga dianggap masih belum mengapresiasi munsyid secara profesional.

“Ada yang terjun seutuhnya di nasyid, misal grup Edcoustic. Namun tidak banyak, tidak seramai industri genre lainnya. Termasuk perlakuan dari masyarakat, karena lebih kental unsur dakwah, sehingga munsyid kerap diapresiasi seadanya.”

[Gambas:Video CNN]

“Di Malaysia, Raihan mendapatkan apresiasi dan capaian album lebih tinggi dari musik lainnya selain karena membudaya akibat dukungan dari pemerintah. Sedangkan di Indonesia, kondisinya liberal di dunia musik, jadi ini semua berjuang sendiri.”

Namun Hendra mengaku komunitas nasyid tetap optimis akan masa depan genre yang mereka usung di masa depan. Ia menganggap, zaman yang berubah akan menghasilkan tantangan yang berbeda pula. Pun, dengan masing-masing daerah punya massa penggemar nasyid yang berbeda.

“Sebagai alternatif musik, kami optimistis nasyid punya peluang yang bagus. Suatu saat nanti orang akan makin banyak yang suka dengan nasyid dan sejajar dengan genre lainnya.”

[Gambas:Youtube]

(end)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER