Jakarta, CNN Indonesia -- Peta
online tidak bisa diandalkan untuk mencapai kawasan Tangki Lio, Mangga Besar, Jakarta Barat.
CNNIndonesia.com sempat berputar dua kali, tapi Jalan Bedila I, Tamansari tak kunjung ketemu. Di peta, lokasi itu sudah dekat. Tapi mobil tak bisa masuk.
Kami harus berjalan menyusuri pinggir Kali Beton, melewati permukiman padat penduduk, mengarah ke Pasar Tangki. Gang-gang kecil itu mustahil dilalui mobil. Motor berpapasan pun sulit, jalannya sungguh sempit. Untungnya, tak sulit menemukan rumah yang kami cari.
Siapa orang sekitar yang tak tahu Laila Sari. Ketenaran biduan era 1980-an itu masih dikenal warga sekitar. Bertanya rumah Laila di kawasan Tangki dan Bedila, semua tahu.
Apalagi ia satu-satunya seniman yang masih tinggal di kawasan yang dahulu ramai artis itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mak Laila, begitu kami menyapanya saat pertama bertemu, akhirnya menyambut kami dengan senyum lebar. Rambut yang memutih dan usia yang sudah melampaui 80 tahun tidak membuatnya lesu. Laila juga masih ingat betul masa-masa kawasan tinggalnya jaya dahulu.
Tangkiwood, demikian nama daerah itu dahulu, memang terletak tak jauh dari kediaman Laila di Jalan Bedila. Dahulu itu disebut kampung artis. Banyak seniman tinggal di sana. Namanya saja sudah mirip-mirip pusat industri perfilman Amerika, Hollywood.
Seperti bisa ditebak, itu menggabungkan Jalan Tangki dan ‘wood’ dari Hollywood.
 Tangkiwood yang dahulu kampung artis, kini jadi permukiman padat penduduk. (CNN Indonesia/Puput Tripeni Juniman) |
Sebagai saksi sejarah Laila masih ingat betul bahwa dahulu lokasi yang sekarang bernama Jalan Tangkiwood I hingga Jalan Tangkiwood V adalah di mana rekan-rekan artisnya tinggal.
Saat itu era 1940 hngga 1950-an. Kata Laila, mereka kebanyakan menempati Gang Tangkiwood II, persis di depan Kali Beton. Gang itu dimulai dengan kedai kecil yang dikenal dengan Warung Sengki. Dinamai begitu karena pemiliknya adalah Babah Sengki, keturunan Tionghoa.
Warung itu masih berdiri hingga kini, diteruskan oleh anak dan menantunya: Neng dan Ayung.
Dari Warung Sengki ke belakang, berjejer permukiman artis yang kerap tampil di panggung Sandiwara Princen Park atau Taman Hiburan Rakyat Lokasari. Laila bercerita, artis banyak tinggal di sana karena Tan Ing Hi, pemilik Princen Park membuatkan kompleks untuk mereka.
Targetnya adalah seniman yang berasal dari luar kota. Kompleks itu dibuat agar para pemain musik, pemeran, penari, penyanyi, hingga para kru tinggal tak jauh dari lokasi pentas.
Salah satu seniman ternama di masa itu adalah Moesa. Ia juga pemilik sandiwara. Rumahnya di samping warung Babah Sengki. Ketenaran Moesa adalah salah satu alasan Tan Ing Hi memberikan pemukiman untuk seniman. Kelak, orang-orang mengenal Moesa sebagai mertua Mak Bibah alias Hadidjah. Anak Moesa, Mas Sardi, menikah dengan Hadidjah.
Mereka lalu menghasilkan Idris Sardi, pemain biola kenamaan. Namanya bahkan masih dikenal hingga kini. Putra Idris juga menjadi aktor, yang tak lain adalah Lukman Sardi.
Dari rumah Moesa, berjejer rumah-rumah seniman lainnya yang berasal dari Sunda, Jawa, Palembang, hingga seniman Filipina yang beristri asli Indonesia. Laila ingat, puluhan rumah petak tempat tinggal seniman berjejer di Gang Tangkiwood hingga Princen Park.
 Laila Sari masih setia tinggal di kampung artis Tangkiwood. (CNN Indonesia/Puput Tripeni Juniman) |
"Belum begini sih rumahnya, zaman dulu-dulu masih belum pakai bata segala," kata Laila.
Gang Tangkiwood berujung pada rumah lama Laila, yang ayah tirinya merupakan pemusik asal Medan. Laila sendiri berasal dari Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia pindah ke Bedila sekitar 1960-an. Ia ingat, artis penuh sesak tinggal di sana. Tua, muda, sampai bayi.
Adalah Bing Slamet yang akhirnya melabelinya dengan nama Tangkiwood. Laila tidak ingat soal sejarah penamaan itu. Yang jelas, para seniman yang tinggal di sana saat itu hidup rukun. Mereka pun punya berbagai kegiatan, mulai gotong royong sampai arisan.
Namun kini permukiman itu sudah tidak ada lagi. Masih padat penduduk, penghuninya pun masih pendatang. Namun alih-alih seniman, pekerjaan mereka beragam. Yang jelas tak ada lagi tanda-tanda seni. Lingkungannya pun jadi tak tertata dan bisa dibilang kumuh.
Menurut Laila, para seniman yang dahulu tinggal di sana kebanyakan pindah rumah atau kembali ke daerah asalnya. Tangkiwood sebenarnya punya rencana matang soal perkampungan artis dahulu, ujarnya. Sayang, itu tak pernah terlaksana hingga kini.
Bersambung ke halaman selanjutnya...
Seperti disinggung Laila, permukiman artis di Tangkiwood tidak akan tercipta tanpa Princen Park. Itu merupakan pusat lokasi pementasan seni pada zaman itu. Artis-artis yang tinggal di Tangkiwood termasuk Laila, hanya perlu berjalan sedikit saja ke panggung sandiwara.
"Pentasnya di Lokasari, jadi tinggal menyeberang saja, ada pintunya," kata Laila.
Lokasari adalah sebutan lain untuk Princen Park.
Para seniman rutin latihan dan pentas di sana. Hampir setiap malam. Tak jarang pula mereka tur ke luar kota hingga berbulan-bulan. Princen Park adalah jantung kehidupan Tangkiwood.
Bukan hanya panggung sandiwara, tempat hiburan itu juga dilengkapi bioskop, restoran, hingga kelab malam. Princen Park sudah jadi pusat hiburan Ibu Kota sejak era Belanda.
Laila punya sejarah khusus dengan tempat itu. Untuk masuk Princen Park, termasuk bagi Laila yang kala itu masih remaja, dikenai tarif tertentu. Tapi ia tak mau rugi. Ia sering menyelinap dan main kucing-kucingan dengan penjaga. Laila juga tahu pintu tersembunyi.
 Kelurahan Tangki dahulu dikenal dengan Tangkiwood. (CNN Indonesia/Puput Tripeni Juniman) |
“Mak dulu badung, sama teman-teman Mak. Kalau malas tinggal loncat naik tangga. Atau lewat pintu yang sudah digergaji sama anak-anak, muat dua badan di kolongnya. ‘Enak aja
lo, gue enggak punya duit,’” kata Laila sambil tertawa mengingat kenakalannya dahulu.
Asal berhasil masuk, ia bisa menikmati bioskop dan layar tancap dengan cuma-cuma. Laila menyebut, ada lima bioskop dan satu layar tancap di lokasi terbuka di dalam Princen Park.
Bapak yang bawa perahu kan menghadap ke sono, nah berduaan deh tuh di dalam gorden.Laila Sari, artis |
Ada pula lantai dansa bernama Happy Wall. Menariknya, lantai dansa itu ada di tengah danau yang terhubung dengan jembatan ke daratan. "Ada Happy Wall, itu tempat dansa, kayak restoran tapi ada musik, ada nyanyian. Nah itu adanya di tengah danau," tutur Laila.
Untuk menikmati keindahan danau, warga bisa menyewa perahu yang bakal membawa berkeliling. Perahu itu dilengkapi tirai bahkan kamar tidur. Biasanya para muda-mudi menyewa perahu itu untuk berpacaran. Bahkan ada jasa 'pacar sewaan' untuk menemani di dalam perahu.
“Mau bawa pacar sendiri juga enggak apa-apa. Wah bagus itu, antik. Bapak yang bawa perahu kan menghadap ke sono, nah berduaan deh tuh di dalam gorden,” tutur Laila santai.
Princen Park pun kini sudah tak ada, hanya menyisakan sebuah hotel bernama Prinsen Park dan plaza Lokasari Square di Jalan Mangga Besar 9. Di lokasi itu juga terdapat lahan kosong seluas dua hektar, yang disinyalir merupakan bekas lokasi pementasan terdahulu.
 Princen Park kini hanya menyisakan hotel dan sebuah plaza, serta tanah lapang. (CNN Indonesia/Puput Tripeni Juniman) |