Ubud, CNN Indonesia -- Pria tinggi kurus dan berkaca mata itu terlihat seperti orang kebanyakan.
Tampangnya ramah, tak henti tersenyum. Pandangannya beredar ke seluruh ruangan sembari mengangguk-angguk, lalu terhenti pada tiga orang di hadapannya. Salah satunya
CNNIndonesia.com, yang disapanya dengan hangat.
“Halo,” katanya bersemangat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria itu lalu ikut saja ke mana ia diperintah. Duduk di taman pun boleh. “Tapi saya merokok dulu ya,” ujarnya sebelum wawancara, lalu asyik mengebulkan asap. Usai menyundutkan sigaret ke asbak, ia meneguk air putih.
“Silakan, bisa mulai kapan saja,” masih dalam bahasa Inggris.
Sekilas, tak terlihat bahwa pria berambut abu-abu itu adalah sineas kenamaan yang sudah wira-wiri di karpet merah pemutaran layar lebar Hollywood. Orang mungkin lebih mengenal sosok kuning berbahasa ‘alien’ yang diciptakannya.
Stuart, Kevin dan Bob.
Pria yang duduk di hadapan
CNNIndonesia.com sore itu di tengah udara Ubud nan sejuk adalah Pierre Coffin, kreator minions. Ia menjadi salah satu pembicara di Ubud Writers and Readers Festival 2017, bersama ibunya sastrawan Nh Dini.
Sebelum si imut minion Bob berkata ‘terima kasih’ kepada Ratu Inggris dalam film Minions, tak banyak orang Indonesia berbincang soal Pierre. Identitasnya sebagai pria berdarah Indonesia baru ‘tepergok’ setelah kata itu muncul.
Padahal aslinya Pierre tidak berbahasa Indonesia.
“Ayah dan ibu saya bercerai terlalu cepat, dan saya ikut ayah saya. Jadi saya tidak bisa bahasa Indonesia,” ia berkata. Ayahnya Yves Coffin, yang menikahi Dini pada 1960 di Jepang. Pierre lahir sebagai anak kedua, pada 1967.
Sebelumnya, sang kakak Marie-Claire Lintang lahir pada 1961.
 Nh Dini, novelis Indonesia, ibunda Pierre Coffin. (CNN Indonesia/Silvia Galikano) |
Pierre-Louis Padang Coffin, begitu nama yang melekat pada Pierre saat dilahirkan di Perancis, harus menghadapi perceraian orang tuanya pada 1984. Usianya masih 17 tahun. Ia ikut ayahnya, sementara Dini kembali ke Indonesia.
Ia sebenarnya masih sering bertemu ibunya. Entah Pierre yang ke Indonesia atau ibunya yang datang ke Perancis. Tapi hanya beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang dikuasai Pierre. “[Terima kasih] itu mudah,
nyantol banget di ingatan saya,” ujarnya, yang lalu menjadikan itu salah satu bahasa minions.
[Gambas:Video CNN]Tapi kata lain, ia hampir tak paham. “Kebanyakan hanya yang berbasis makanan. Nasi goreng, teh manis, sate,” ia menyebutkan, lalu tertawa. Pierre memang suka makan dan memasak, termasuk makanan Indonesia. Ia bahkan mengaku suka kecap, yang biasa ia bubuhkan jika memasak barbeque bersama keluarga.
“Dimakan sama bumbu sate dan kerupuk, itu yang terbaik,” tuturnya.
Ia juga tak membaca buku-buku ibunya sendiri, yang begitu populer di Indonesia. Dini dikenal dengan buku seperti
Sekayu, Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, Hati yang Damai, dan banyak lagi. Tokoh utamanya selalu perempuan.
Pierre menuturkan, banyak orang datang kepadanya dan membanggakan buku ibunya yang mereka baca. Bahkan buku pertama Dini disebut-sebut diajarkan di sekolah-sekolah. Tapi pria 50 tahun itu tak bisa merespons banyak.
 Buku-buku karya Nh Dini. (Dok. Koleksi PDS HB Jassin) |
“Hampir tidak ada yang diterjemahkan ke bahasa Perancis atau Inggris,” ia beralasan kenapa tidak membaca buku-buku ibunya sendiri. Namun, Pierre ingat betul 20 tahun lalu ia pernah membaca salah satu cerita pendek sang ibunda.
Itu bagian dari antologi. Cerita persisnya Pierre lupa.
“Tapi saya sangat menikmatinya,” komentarnya sambil tersenyum.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Terlahir dari orang tua diplomat dan penulis, Pierre banyak membaca sejak kecil. Tapi sang ayah tidak memperbolehkannya menonton televisi. Pierre kecil pun frustrasi. Ia akhirnya mencari kegiatan yang bisa dilakukan saat bosan.
“Saya banyak membaca, saya banyak menggambar,” katanya.
Pria yang menyukai karakter kartun Droopy itu merasa, kondisi yang diciptakan ayahnya sedikit banyak memaksanya mengembangkan bakat yang lain. Di banyak waktu luang yang dimiliki, Pierre mengambil pensil dan mulai menggambar.
Awalnya ia tak merasa berbakat. Pierre berharap ia bisa menggambar hal-hal realistis seperti manusia. Namun dibanding kartunis Perancis lain, ia merasa gambarnya sangat jelek. Ia pun mencoba menggambar hewan. Hasilnya lumayan.
Dari tiga garis kecil yang digoreskan pensilnya, Pierre bisa membuat tikus.
“Itu gambar pertama saya,” tuturnya mengenang.
Semakin dewasa, gambarnya semakin matang. Apalagi sejak ia menamatkan pendidikan di sekolah film animasi Gobelins di Paris. Dari situ, Pierre mulai bekerja di rumah produksi Amblimation yang berbasis di London, Inggris.
Di sanalah karya pertama Pierre yang dikenal, lahir. Itu adalah
We're Back! A Dinosaur's Story. Karya itu penting, karena sutradara Hollywood terkenal, Steven Spielberg adalah produser eksekutifnya. Dari situ, karier Pierre menanjak. Ia menjadi pekerja lepas di studio CGI Perancis, Ex Machina.
Pings (1997) adalah film pertama di mana ia menjadi sutradara.
Tak hanya mengerjakan film, Pierre juga memproduksi beberapa iklan komersial. Serial pun digarapnya. Yang terkenal berjudul
Pat & Stan, yang tayang di TF1.
“Itu serial dengan bintang kuda nil dan anjing. Saya butuh si kuda nil untuk kelaparan dan menggilai sesuatu. Saya melihat orang di kebun binatang memberi makan mereka dengan pisang. Jadi, saya buat itu pisang,” ia bercerita.
[Gambas:Youtube]Pisang yang sama ia pakai untuk minions. Makhluk bawah tanah anak buah Gru itu dikisahkannya suka sekali pisang. “Itu bisa juga jadi alasan kenapa mereka kuning, karena mereka kebanyakan makan pisang,” ia lalu tertawa.
“Saya juga suka sekali pisang,” imbuhnya bersemangat.
Bersambung ke halaman berikutnya... Minions lah yang akhirnya membuat nama Pierre populer.
Itu terjadi pada 2014. Popularitasnya mendadak melonjak setelah menuntaskan
Despicable Me bersama Chris Renaud. Animasi itu berlanjut ke
Despicable Me 2 (2013) dan
Despicable Me 3 (2017). Pierre bahkan punya film lepas
Minions (2015).
Yang difavoritkan penonton bukan hanya Gru, Margo, Edith dan Agnes. Mereka juga terpincut makhluk kuning kecil bernama minions yang diciptakan Pierre.
 Minions memincut penonton karena keluguan mereka. (Dok. Universal) |
Tapi ia tak pernah mau disebut sebagai ‘bapak’ minions. Menurutnya, pencipta minions bukan hanya satu orang. Ia bekerja dengan tim menghasilkan makhluk yang dulu dibayangkan sebagai orang-orang bertubuh kekar di bawah tanah itu.
“Tapi kami sadar kami tidak punya cukup uang untuk membuat mereka dengan komputer dan menjadikannya sepasukan, ribuan orang,” Pierre bercerita.
Setelah beberapa kali berubah—bahkan sempat berwujud mirip kodok dan berkulit hijau—jadilah minions yang sekarang. Kecil, kuning, botak, berbusana overall seperti pekerja tambang, berkaca mata besar, dan sesekali merokok.
Bentuknya sederhana seperti pil, rambutnya pun botak. Tak butuh banyak uang.
Pierre juga terlibat dalam pengisian suara dan pembuatan bahasa minions.
Entah ada berapa banyak bahasa yang dicampurkan Pierre. Setiap kali menemukan kata unik dan terdengar lucu, ia catat. Pierre punya notes khusus di iPhone-nya yang berisi ribuan kata dari berbagai bahasa. Termasuk bahasa Indonesia.
“Lihat ini, ada patagonia, anana, ribuan kata. Setiap kali saya ke restoran, negara lain atau mendengar orang bicara bahasa yang lucu, saya berpikir, ‘Ah, bisa saya pakai itu!’” ujarnya sambil menunjukkan ‘kamus minionsnya’.
[Gambas:Youtube]Pierre biasanya memikirkan bagaimana ia akan mencampur kata-kata itu, lalu merekam suaranya dengan gaya seperti ia pernah melakukannya sewaktu menggarap iklan ayam di Perancis dahulu. Rekaman itu kemudian ia percepat sedikit.
Jadilah suara minions.
Karena itu sang bapak dua anak tidak pernah mau diminta menirukan suara minions secara mendadak. “Banyak orang meminta, tapi maaf, saya tidak bisa. Saya harus tahu apa yang dikatakan, merekamnya, mempercepatnya,” ujarnya.
Bersambung ke halaman berikutnya... Jika ayahnya masih hidup dan melihat kesuksesannya sekarang, kata Pierre, mungkin ia akan bangga. “Tapi saya pernah sangat marah pada dia dan dia marah pada saya, jadi kami seperti terpisah,” ujarnya soal sang ayah.
Sang ayah, kata Pierre, berubah menjadi sosok yang tak ingin dijadikannya teladan. “Intoleran, sedikit rasis, suka marah, sangat menakutkan. Itulah kenapa kami jalan masing-masing. Sedih, tapi itu bukan salah saya.”
Yves Coffin, ayahnya, sebenarnya bukan tak suka dunia film.
Pierre ingat sejak kecil sang ayah beberapa kali mengajaknya ke bioskop. Film pertamanya adalah kartun
Robin Hood produksi Disney. Pierre lupa tahunnya.
“Saya tidak ingat pasti apakah itu saat dia tayang di bioskop. Tapi saya ingat jelas, ayah memaksa saya menontonnya dalam bahasa Inggris,” katanya.
Tapi film yang paling berkesan baginya berjudul
Hair. Dirilis pada 1979, film tentang pasukan Amerika Serikat di Perang Vietnam itu adalah musikal.
“Mungkin itu kenapa saya punya banyak nada di film saya,” tutur Pierre.
Sejak kecil ia sebenarnya tak pernah membayangkan film-filmnya akan sebanyak sekarang dan dirinya sepopuler saat ini. Hingga kini pun Pierre tak yakin filmnya bagus dan dirinya terkenal. “Menghibur, mungkin iya,” ujarnya.
Tapi soal bagus atau tidak, ia sendiri masih bertanya.
Yang jelas, ia tahu minions lebih terkenal dari dirinya.
Menguntungkan, memang. Anak-anaknya suka sekali diundang ke acara-acara penayangan perdana film, bertemu selebriti. Tapi ia tak perlu popularitas.
 Meski demam minions di mana-mana, Pierre Coffin penciptanya tak merasa terkenal. (Dok. Akun Youtube Illumination) |
“Saya pikir orang-orang tidak benar-benar tahu siapa di balik filmnya. Mereka mengenali saya ketika saya pergi ke festival animasi,” tuturnya. Tapi di luar itu, menurut Pierre ia bukan siapa-siapa. “Tapi itu keren,” ia menambahkan.
Sembari tersenyum Pierre berkata, “Saya jadi punya kehidupan normal. Saya tidak perlu takut hidup di mana pun, dengan barang-barang seadanya.”
Penampilan Pierre memang sederhana. Sore itu saja ia hanya mengenakan celana tiga per empat dan kemeja gombrong. Dengan busana itu pula ia menghadiri pembukaan UWRF 2017, di mana ibunya menerima Lifetime Achievement Award.
Ia bahkan tak repot membawa tas. Hanya ada ponsel di tangannya.
Saya jadi punya kehidupan normal. Saya tidak perlu takut hidup di mana pun, dengan barang-barang seadanya.Pierre Coffin |
“Barang-barang penting lain saya kantongi,” ujarnya tenang, sembari menuntaskan rokoknya, lalu beranjak menuju mobil untuk menghadiri acara penganugerahan ibunya. Ia mempersilakan
CNNIndonesia.com masuk lebih dulu.
Total, tiga atau empat batang rokok Pierre habiskan selama setengah jam itu. Namun anehnya, jika sudah menggambar minions atau kartun lain untuk bekerja, ia justru tak merokok. Bisa berjam-jam ia menggambar, tanpa merokok.
“Itu bagus sebenarnya. Saya memang harus diberi tekanan kapan harus selesai. Kalau tidak begitu, saya tidak akan punya apa-apa untuk dipamerkan,” ujarnya.
Waktunya tak pasti. Bisa sejak pukul enam pagi hingga tengah malam ia menghasilkan banyak gambar. Namun bisa juga esok harinya ia blank. Karena itulah, kata Pierre, ia butuh bertahun-tahun menghasilkan minions.
Kebanyakan gambarnya mungkin berakhir di tempat sampah. Tapi ia justru butuh menghasilkan lebih banyak gambar lagi sampai bisa mendapat yang terbaik.
Sore itu, CNNIndonesia.com berpisah dengan Pierre di pintu masuk Istana Ubud. Pencinta humor gelap dan humor kekerasan itu langsung disambut begitu masuk, dipersilakan duduk di kursi VIP di deret paling depan. Di samping ibunya.
Sembari menyentuh ramah dan tersenyum ia berkata, “Sampai jumpa lagi, ya.”