Jakarta, CNN Indonesia -- Segelas kopi Americano dari gerai kopi di sebuah pusat perbelanjaan kelas atas di Jakarta Selatan masih mengepulkan asap. Tidak berapa lama, sosok yang naik daun di media sosial beberapa waktu terakhir datang menyapa.
"Sore," sapa Sigit Prabowo, pria yang mengaku menjadi sosok di balik akun Bicara Box Office, yang naik daun di dunia media sosial Twitter. Akun itu secara rutin membahas pendapatan film dari pasar baik dalam bentuk admission atau tiket yang terjual maupun dari pendapatan.
"Saya hanya seorang penggemar film yang hobi memperhatikan box office," kata Sigit. "Sudah 10 tahun saya menjalani hobi ini. Namun baru dua tahun terakhir saja mulai memperhatikan film Indonesia," kata admin dengan jumlah pengikut lima ribuan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkembangan film nasional memang menarik dalam beberapa tahun terakhir. Tandanya bukan hanya lonjakan jumlah penonton film lokal. Itu juga diikuti munculnya akun anonim yang membahas soal pendapatan dalam bisnis film, Bicara Box Office.
Sigit mengakui berdasarkan data berbagai sumber yang ia analisis, perfilman Indonesia memang tengah bergairah. Penonton yang datang ke bioskop bukan cuma mencari film Hollywood, namun juga karya sineas lokal.
Satu dekade lalu, film Indonesia yang mampu menorehkan sejarah terlaris bisa dihitung dengan jari. Sebut saja
Ada Apa dengan Cinta? (2002) yang sukses menembus satu juta penonton, sebuah angka fenomenal kala itu.
Lalu ada
Laskar Pelangi (2008) dan
Ayat-ayat Cinta (2008) yang menembus angka penonton atau tiket terjual sebesar 4,7 juta dan 3,6 juta. Juga
Habibie & Ainun (2012) dengan 4,5 juta.
Hingga pada 2016, film
Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 menggulingkan
Laskar Pelangi sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan 6,8 juta tiket terjual.
Sejak saat itu, terutama sepanjang 2017, lebih banyak lagi film yang mendulang penonton. Sebut saja
Pengabdi Setan (4,2 juta),
Warkop DKI Reborn 2 (4 juta) dan
Ayat Ayat Cinta 2 (2,8 juta). Angka 'keramat' satu juta penonton sebagai batas 'aman' sejak era awal reformasi pun kini terasa hambar.
"Kalau dahulu, sejuta penonton tuh prestasi banget. Sekarang sudah tiga, empat, enam juta penonton. Lebih bagus," kata Sunil Samtani, produser Rapi Film yang memproduksi
Pengabdi Setan (2017) bersama CJ Entertainment dari Korea Selatan.
Secara kasat mata, dunia perfilman Indonesia seolah mulai kembali bangkit dan menjadi tuan di rumah sendiri. Namun sejatinya, jumlah penonton yang banyak beredar di internet itu belum menggambarkan secara utuh pasar film Indonesia hingga layak disebut industri.
Masalah yang nyaris luput dipantau adalah jumlah uang yang dihasilkan perfilman Indonesia seperti industri pada umumnya. Namun jangankan uang, data pendapatan film atau box office saja Indonesia tak jelas.
"Bisnis modern itu manajemennya berdasarkan data. Cuma untuk mencapai kesepakatan bersama [antar elemen dunia perfilman Indonesia] ini tidak mudah. Ya banyak hal bagaimana kita menerjemahkan peraturannya ke arah itu," kata Ricky Pesik, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif.
 Ricky Pesik, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Sebenarnya, ketentuan soal data perolehan penonton yang menjadi dasar penetapan kesuksesan film dan pendapatan yang diperolehnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman atau biasa dikenal sebagai UU Film.
Dalam Pasal 33 UU Film, para pengelola bioskop diharuskan melaporkan jumlah penonton setiap judul film yang ditunjukkan, baik Indonesia maupun asing, kepada menteri secara berkala yang setelahnya menteri mengumumkan kepada publik dalam periode tertentu.
UU pun dalam Pasal 34 menyatakan ketentuan lebih lanjut mesti diatur dalam Peraturan Menteri (Permen). Dan sejak disahkan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Oktober 2009, Permen itu tak pernah ada hingga kini.
"Permennya masih di Dirjen Kebudayaan, secara substansi masih dikaji di situ. Karena ada pemahaman masyarakat memandang sistem box office itu bisa terbaca setiap saat oleh siapa saja, padahal UU menyatakan tidak seperti itu," kata Maman Wijaya, Kepala Pusat Pengembangan Film Kemendikbud.
"Permen memang sebenarnya cepat, bahkan pada 2016 sudah hampir selesai. Cuman ya seperti tadi, desakannya dari produser dan teman-temannya bisa
real time, namun kalau pengelola bioskop inginnya sesuai UU, periodik dan ke menteri," lanjutnya.
Di sisi lain, Sunil menyebut data jumlah penonton biasa ia dapatkan dari pihak pengelola bioskop sebagai mitra mereka mendulang uang dari film.
"Setiap hari. Mereka [bioskop] lapor setiap layar yang menayangkan film kami, jumlah layarnya, jam tayangnya, jumlah penontonnya berapa, semuanya," kata Sunil. "Data itu kami simpan, kami totalkan, dan kami unggah ke media sosial."
Argumen senada juga datang dari pihak bioskop. Haryani Suwirman, Head of Programming & Conten CGV Indonesia mengatakan pelaporan kepada produser lantaran terkait pembagian pendapatan dari penayangan film yang mencapai 50:50.
"Pasti kami laporin, itu kewajiban kami," kata Haryani yang mengelola jaringan bioskop dengan 180-an layar tersebut.
"Tahun lalu [2017], Pusbang Film pernah mengundang pengelola bioskop, produser, dan semuanya. Mereka ingin membuat pelaporan ini terintegrasi dan ada sistemnya. Cuma saya tidak tahu mereka mintanya apa setiap hari, tiap pekan, atau tiap bulan," lanjutnya.
"Waktu itu sih sudah ada [peralatannya]. Katanya mesti kirim surel, daftar dahulu, namun saya belum terima sampai sekarang," kata Haryani.
CNNIndonesia.com telah mencoba menghubungi pihak Cineplex 21 Group sebagai pemilik jaringan bioskop terbesar dengan lebih dari 970 dari 1.578 layar lebar yang ada di Indonesia, namun tidak ada tanggapan soal kondisi box office di Indonesia.
Dalam kesempatan terpisah, Maman menyebut sistem terintegrasi itu sudah ada. Namun baru akan dirilis begitu Permen yang telah berusia sedekade itu resmi diteken Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Drama terkait data dan sistem box office Indonesia bukan hanya soal payung hukum yang tak kunjung muncul, namun soal kepastian pendapatan yang dihasilkan industri film Indonesia.
"Pasti ada kehilangan potensial yang nyata. Karena dalam ekosistem film, rantainya itu dari produser ke distributor lalu ke ekshibitor lalu ke apresiasi baru pendidikan. Nah di dalam lingkar ekosistem itu di tengah-tengahnya ada data dan riset," kata pengamat film, Hikmat Darmawan.
Kehilangan potensial yang dimaksud Hikmat telah dirasakan perusahaan tempat Haryani bernaung, CGV. Sejak bergabung dengan perusahaan Korea, CJ, pada 2015, bioskop yang dulu bernama Blitz itu berkembang pesat dari sembilan lokasi bioskop menjadi 46 pada 2017.
Namun semrawutnya keberadaan data box office yang menjadi gambaran pasar bisnis perfilman membuat gerak bisnis bak meraba dalam gelap.
"Kami kan sebagai ekshibitor ingin tahu pasar kami seberapa besar," kata Haryani. "Kami ingin tahu
market share kami berapa, dan itu amat sulit. Dari mana coba? saya tidak ada datanya."
"Agak sulit bagi kami untuk mengembangkan bisnis tapi tidak tahu seberapa besar kami. Dan kami sebenarnya mengira-ngira dari laman
filmindonesia.or.id, malu sih sebenarnya," lanjutnya.
Laman
filmindonesia.or.id diketahui menyediakan berbagai data film Indonesia. Selama ini, banyak sumber dari industri perfilman dan media mengacu pada data yang disediakan laman yang dinaungi lembaga nirlaba Yayasan Konfiden tersebut.
Tapi, laman itu juga memiliki keterbatasan. Salah satunya adalah sulit memantau secara riil perkembangan jumlah penonton sebuah film, serta mengakses data lawas atau di luar 20 film dengan penonton terbanyak.
"Saya pernah mengirim surel kepada mereka mencoba meminta data, tapi tak ada tanggapan," kata Sigit. Ia pun berinisiatif mencari sendiri di internet yang kemudian ia rilis di akunnya.
Sigit tak sendiri, Sunil juga menyebut kerap mengakses laman itu untuk memantau perkembangan film walau tak mengenal pengelolanya.
"Karena [data] seperti ini pengetahuan bagi publik, mau diumpetin juga buat apa? Ini tuh bisa mendorong orang lain untuk membuat film yang bagus. Angka juga buat apa disembunyikan, kecuali amat rendah, itu malas juga [untuk merilisnya]," kata Sunil.
 Sunil Samtani, produser Rapi Films. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Kondisi pengarsipan ini berbeda 180 derajat dari negara dengan industri perfilman yang maju. Di Korea Selatan, Korean Film Council jadi pihak yang mengumpulkan dan merilis data tersebut dan publik dipersilahkan untuk mengakses.
Sedangkan di Amerika Serikat, beragam analis pasar menyediakan data box office untuk dapat diakses siapa pun yang membutuhkan. Ambil contoh ComScore atau Box Office Mojo.
Bila Indonesia tidak memiliki data identitas filmnya sendiri, lembaga asing justru punya. Asosiasi dagang Motion Picture Association of America (MPAA) yang mewakili enam studio terbesar di Hollywood memiliki data box office Indonesia, juga dunia.
Setiap tahun, MPAA merilis gambaran pasar perfilman di dunia, baik secara domestik maupun internasional. Dari pemaparan MPAA yang biasa rilis setiap April itu, kondisi Indonesia diketahui mengalami peningkatan.
Agak sulit bagi kami untuk mengembangkan bisnis tapi tidak tahu seberapa besar kami. Dan kami sebenarnya mengira-ngira dari laman filmindonesia.or.id, malu sih sebenarnya.Haryani Suwirman, Head of Programming & Conten CGV Indonesia |
Pada 2014, MPAA mencatat Indonesia berhasil masuk 20 besar pasar box office Indonesia dengan nilai US$0,2 miliar, menggeser Malaysia yang sebelumnya berada di posisi itu. Indonesia tercatat terus berkembang, hingga pada 2016 MPAA mencatat Indonesia berada di urutan 15 dunia dengan nilai US$0,3 miliar.
Berdasarkan penghitungan
CNNIndonesia.com dengan data yang ada dan sejumlah asumsi, perkembangan film Indonesia terjadi baik secara jumlah produksi, penonton, hingga pendapatan yang diperoleh. Namun semua masih berupa gambaran hingga data resmi Kemendikbud resmi dirilis.
"Mudah-mudahan tahun ini [dirilis]," kata Maman.
Di sisi lain, Hikmat berpendapat Indonesia mampu kembali memiliki industri perfilman yang sehat pada beberapa dekade lalu bila memperbaiki infrastruktur berupa jalur distribusi yang kini hilang, dan juga box office.
"Mekanisme penghitungan box office saja masih belum benar. Ini dampaknya banyak, misal kita belum punya proyeksi akurat untuk jumlah pendapatan film, dan susah mendapatkan hitungan pajak yang benar," kata Hikmat.
"Banyak pihak sudah nyaman dengan kondisi yang tidak tercatat jelas. Tapi kalau mau [industri film] sehat, data [box office] itu mau tidak mau." lanjutnya.
 Indonesia disebut salah satu pasar film potensial di dunia. (CNN Indonesia/Fajrian) |