Drama terkait data dan sistem box office Indonesia bukan hanya soal payung hukum yang tak kunjung muncul, namun soal kepastian pendapatan yang dihasilkan industri film Indonesia.
"Pasti ada kehilangan potensial yang nyata. Karena dalam ekosistem film, rantainya itu dari produser ke distributor lalu ke ekshibitor lalu ke apresiasi baru pendidikan. Nah di dalam lingkar ekosistem itu di tengah-tengahnya ada data dan riset," kata pengamat film, Hikmat Darmawan.
Kehilangan potensial yang dimaksud Hikmat telah dirasakan perusahaan tempat Haryani bernaung, CGV. Sejak bergabung dengan perusahaan Korea, CJ, pada 2015, bioskop yang dulu bernama Blitz itu berkembang pesat dari sembilan lokasi bioskop menjadi 46 pada 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun semrawutnya keberadaan data box office yang menjadi gambaran pasar bisnis perfilman membuat gerak bisnis bak meraba dalam gelap.
"Kami kan sebagai ekshibitor ingin tahu pasar kami seberapa besar," kata Haryani. "Kami ingin tahu
market share kami berapa, dan itu amat sulit. Dari mana coba? saya tidak ada datanya."
"Agak sulit bagi kami untuk mengembangkan bisnis tapi tidak tahu seberapa besar kami. Dan kami sebenarnya mengira-ngira dari laman
filmindonesia.or.id, malu sih sebenarnya," lanjutnya.
Laman
filmindonesia.or.id diketahui menyediakan berbagai data film Indonesia. Selama ini, banyak sumber dari industri perfilman dan media mengacu pada data yang disediakan laman yang dinaungi lembaga nirlaba Yayasan Konfiden tersebut.
Tapi, laman itu juga memiliki keterbatasan. Salah satunya adalah sulit memantau secara riil perkembangan jumlah penonton sebuah film, serta mengakses data lawas atau di luar 20 film dengan penonton terbanyak.
"Saya pernah mengirim surel kepada mereka mencoba meminta data, tapi tak ada tanggapan," kata Sigit. Ia pun berinisiatif mencari sendiri di internet yang kemudian ia rilis di akunnya.
Sigit tak sendiri, Sunil juga menyebut kerap mengakses laman itu untuk memantau perkembangan film walau tak mengenal pengelolanya.
"Karena [data] seperti ini pengetahuan bagi publik, mau diumpetin juga buat apa? Ini tuh bisa mendorong orang lain untuk membuat film yang bagus. Angka juga buat apa disembunyikan, kecuali amat rendah, itu malas juga [untuk merilisnya]," kata Sunil.
 Sunil Samtani, produser Rapi Films. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Kondisi pengarsipan ini berbeda 180 derajat dari negara dengan industri perfilman yang maju. Di Korea Selatan, Korean Film Council jadi pihak yang mengumpulkan dan merilis data tersebut dan publik dipersilahkan untuk mengakses.
Sedangkan di Amerika Serikat, beragam analis pasar menyediakan data box office untuk dapat diakses siapa pun yang membutuhkan. Ambil contoh ComScore atau Box Office Mojo.
Bila Indonesia tidak memiliki data identitas filmnya sendiri, lembaga asing justru punya. Asosiasi dagang Motion Picture Association of America (MPAA) yang mewakili enam studio terbesar di Hollywood memiliki data box office Indonesia, juga dunia.
Setiap tahun, MPAA merilis gambaran pasar perfilman di dunia, baik secara domestik maupun internasional. Dari pemaparan MPAA yang biasa rilis setiap April itu, kondisi Indonesia diketahui mengalami peningkatan.
Agak sulit bagi kami untuk mengembangkan bisnis tapi tidak tahu seberapa besar kami. Dan kami sebenarnya mengira-ngira dari laman filmindonesia.or.id, malu sih sebenarnya.Haryani Suwirman, Head of Programming & Conten CGV Indonesia |
Pada 2014, MPAA mencatat Indonesia berhasil masuk 20 besar pasar box office Indonesia dengan nilai US$0,2 miliar, menggeser Malaysia yang sebelumnya berada di posisi itu. Indonesia tercatat terus berkembang, hingga pada 2016 MPAA mencatat Indonesia berada di urutan 15 dunia dengan nilai US$0,3 miliar.
Berdasarkan penghitungan
CNNIndonesia.com dengan data yang ada dan sejumlah asumsi, perkembangan film Indonesia terjadi baik secara jumlah produksi, penonton, hingga pendapatan yang diperoleh. Namun semua masih berupa gambaran hingga data resmi Kemendikbud resmi dirilis.
"Mudah-mudahan tahun ini [dirilis]," kata Maman.
Di sisi lain, Hikmat berpendapat Indonesia mampu kembali memiliki industri perfilman yang sehat pada beberapa dekade lalu bila memperbaiki infrastruktur berupa jalur distribusi yang kini hilang, dan juga box office.
"Mekanisme penghitungan box office saja masih belum benar. Ini dampaknya banyak, misal kita belum punya proyeksi akurat untuk jumlah pendapatan film, dan susah mendapatkan hitungan pajak yang benar," kata Hikmat.
"Banyak pihak sudah nyaman dengan kondisi yang tidak tercatat jelas. Tapi kalau mau [industri film] sehat, data [box office] itu mau tidak mau." lanjutnya.
 Indonesia disebut salah satu pasar film potensial di dunia. (CNN Indonesia/Fajrian) |
(rsa)