Jakarta, CNN Indonesia -- Kicau burung bersahutan di bawah rindangnya pohon kecapi. Tak ada bising mesin kendaraan. Hanya deru angin yang meniupkan udara segar dengan sinar matahari yang mulai menyengat.
Kehidupan ini seakan jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Namun tak jauh dari rumah-rumah kumuh yang berimpitan itu, gedung-gedung tinggi menjulang. Lampu-lampu kafe bergemerlapan.
Itu potret kecil yang tersembunyi di Kemang, salah satu kawasan elite di selatan Jakarta, yang kini sedang merayakan ulang tahun ke-491.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Kampung di balik tembok tinggi Kemang. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Jalan sempit bernama Gang Langgar itu ditinggali sejumlah masyarakat Betawi asli yang memilih bertahan hidup di balik tembok-tembok yang berdiri atas nama modernitas.
Nama Gang Langgar diambil dari keberadaan masjid atau langgar di dekatnya, Masjid Jami Tarbiyatul Falah.
Namun, jangan harap bisa langsung menemukan lokasi gang tersebut dengan mudah, terlebih menggunakan peta elektronik. Itu justru akan mengarah pada Gang Langgar-Gang Langgar lain, di luar kawasan Kemang. Nama resmi yang digunakan wilayah ini adalah Jalan Kemang 1B.
Tidak seperti restoran, kafe, kelab malam, maupun kedai kopi masa kini di kawasan Kemang, untuk masuk ke Gang Langgar perlu melewati jalan-jalan setapak yang jelas tak bisa dilewati mobil. Hanya kendaraan roda dua atau pejalan kaki yang bisa masuk ke sana.
 Pemandangan gedung-gedung tinggi Kemang dari Gang Langgar. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Meski cukup padat, kehidupan warga kampung ini terasa begitu hangat.
Saat
CNNIndonesia.com berkunjung pekan ini, suasana Lebaran masih cukup terasa. Beberapa warga tampak duduk-duduk bercengkerama di sebuah balai. Beberapa lainnya lalu-lalang bersilaturahmi ke rumah tetangga.
"Minal aizin ya," ucap sepasang suami istri kepada kami. Mereka terlihat baru pulang dari kampung halaman, menggendong beberapa tas besar.
Walau didominasi masyarakat asli Betawi, ada pula beberapa warga kampung yang merupakan pendatang. Menurut ketua RT setempat, secara keseluruhan ada sekitar 30 kepala keluarga yang tinggal di sana.
Dahulu, sebelum bersolek menjadi salah satu kawasan kaum metropolis, Kemang merupakan daerah yang asri. Daerah ini dikelilingi sawah, perkebunan, hingga peternakan.
Itu dituturkan Hasimah, warga yang dituakan di kampung Gang Langgar, sekaligus saksi hidup pergantian wajah Kemang.
"Saya udah di sini dari tahun 1962, dulu mah belon ada apa-apa, masih kebon, sawah, pohon apa aja ada. Warganya dulu dagang buah sawo, kecapi, ada juga yang ngangon kambing," ceritanya saat ditemui di kediamannya.
 Hasimah, salah satu warga Betawi asli yang masih tinggal di kampung Kemang. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Kini, di tanah yang dulunya merupakan area persawahan itu telah berdiri apartemen mewah dan pusat perbelanjaan. Lokasi itu berdampingan langsung dengan kampung ini.
"Kandang kambing sekarang jadi kontrakan," kata Hasimah dengan nada agak ketus.
Hasimah yang kerap disapa Mpok Acim itu merasa perubahan kawasan Kemang menjadi sebuah kota turut mengubah nasibnya.
"Saya dulu itu dukun beranak, tapi karena jadi banyak bidan di sini, ya kalah," tuturnya. "Sekarang saya tukang urut bayi," ia melanjutkan.
Hasimah bukan satu-satunya yang nasibnya berubah. Anak-anak pun kehilangan tempat bermain. Kawan-kawannya akhirnya banyak yang memilih menjual tanah dan pindah ke pinggiran kota Jakarta. Sementara tanah-tanah yang dijual itu, berubah jadi lahan bisnis.
Ada yang menjadi restoran, pusat perbelanjaan, rumah tinggal dan sebagainya.
"Sekarang jadi enggak enak, gersang. Jalannya udah abis, mau ke mana-mana takut, takut nyebrang. Dulu mah cuma ada gerobak, sekarang macem-macem [kendaraan]," katanya.
"Yang tersisa cuma masjid doang, itu juga dulunya musala. Kalau bukan masjid, tau deh udah dijadiin apaan," lanjutnya seolah berkaca dari perubahan yang terjadi.
Penduduk asli Kemang pun semakin terpinggirkan saat baru-baru ini akses menuju kampung Gang Langgar ditutup. Hasimah dan warga lain harus berputar melewati jalan yang lebih jauh.
"Dulu kalau turun [kampung sebelah] ada jalan. Sekarang muter jauh, kealingan tembok, jadi jauh banget," ungkapnya sambil menghela nafas.
Meski demikian, ia mengaku bahwa dirinya dan keluarga akan tetap tinggal di sana selama akses menuju kampungnya masih ada. Tak peduli jalan-jalannya kian sempit terimpit.
"Biar sampe mati saya ingin di kampung sendiri. Saya enggak mau pindah ke kampung orang. Biarin kalau yang lain milih pindah dan jual rumah mereka, kebutuhan orang kan beda-beda," katanya menggebu.
 Suasana di Gang Langgar, kampung Betawi asli di balik kemegahan Kemang. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Cerita lain datang dari Sanwani....
(selanjutnya)
Cerita lain datang dari Sanwani, mantan pelayan restoran dan
office boy yang kini memilih jadi peternak ayam. Ia mengalami sendiri penggusuran di Kemang.
Sanwani sejak lahir tinggal di sana. Seiring tumbuh dewasa, ia merasakan Kemang yang dikenalnya pun mulai berubah. Pria 54 tahun ini pun mengaku mengalami kejadian pahit di era awal pembangunan kota Kemang.
"Saya lagi main bola terus traktor tiba-tiba ngegusur lapangan itu, yang jadi Lippo sekarang. Abis dah udah, tuh liat jalanan aja tinggal segitu. Ini dulu pohon pisang sama singkong di sini ada semua," kenangnya sembari menunjuk-nujuk objek di sekitarnya.
Ia membenarkan bahwa dahulu kehidupan Kemang begitu dekat dengan alam.
"Dulu di sini hutan, banyak pohon rambutan, pohon kecapi, sekarang tau deh tuh tinggal berapa pohonnya. Dulu juga, mau makan ikan tinggal pancing di kali. Mau mandiin kebo gampang, sekarang apaan yang mau dimandiin," katanya bernada sinis.
Lapangan pekerjaan pun dirasanya lebih susah. Beragam pekerjaan telah ia coba. Mulai dari pelayan restoran, office boy, hingga di kantor yang kini sudah bangkrut, katanya.
Merasa tak menutup kehidupannya sehari-hari, ia lantas memilih menghabiskan waktu di kampung, menekuni hobi memelihara ayam sembari menjadikannya sebagai mata pencaharian.
 Suasana di Gang Langgar, Kemang. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Di awal menekuni hobi, Sanwani hanya memiliki empat ekor ayam. Kini ada lebih dari 50 ekor ayam yang mengisi sebidang tanah di sudut lain kampung Gang Langgar.
"Kalah sama pendatang, yang dicari orang modern. Ya udah lah melihara ayam aja," katanya sambil tersenyum.
Sanwani kemudian mengajak
CNNIndonesia.com untuk melihat ayam-ayam miliknya. Ada yang dikunci dalam kandang, ada yang dibiarkan bebas berkeliaran.
"Nih kandangnya nih, tuh udah pada nelor. Ini udah sedikit ayamnya, kemarin dibagi-bagi saudara buat Lebaran bikin opor," ucapnya sambil tertawa. Ia pun langsung mengambil segenggam makanan ayam dan disebar di bagian tengah pada bidang tanah yang kurang lebih berukuran 500 meter persegi. Dalam sekejap, ayam-ayam langsung berkumpul.
"Ini baru ditembok semingguan yang lalulah. Ya emang repot kalo udah ditutup begini. Tapi kan sudah jadi tanah dia, kita mau gimana?" katanya sembari menggelengkan kepala saat melihat ke belakang kandang ayam yang dulunya salah satu jalan ke luar kampung.
Tembok itu juga yang dikeluhkan Hasimah.
Kehidupan di balik tembok itu memang sangat kontras. Ada gedung apartemen mewah di atas tanah bekas lapangan bola Sanwani bermain. Pembangunan tembok itu pun seakan mempertebal batas kehidupan modern dan tradisional.
Di tengah gempuran modernitas yang memutar roda kehidupannya, Sanwani mengaku masih teguh untuk bertahan di sana.
 Anak-anak di Gang Langgar Kemang kekurangan tempat bermain. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
"Kalau bisa sih saya enggak akan pindah, udah enak di sini. Mau ke mana-mana gampang. Kalau pindah jauh enggak betah, saya dari lahir sudah di sini," katanya. Di sudut lain Gang Langgar....
(selanjutnya) Di sudut lain Gang Langgar, tersimpan kehidupan seorang pelukis yang juga pemahat patung bernama Ali. Ia dikenal sebagai pria gondrong dengan panggilan akrab Bang Poking.
Bila Hasimah dan Sanwani seolah merasa merugi dengan perubahan drastis di Kemang, Poking justru menikmati hidupnya. Ia merasa terselamatkan atas kedatangan para ekspatriat.
Kala muda, Poking berusaha untuk tidak terus hidup bergantung pada orang tua. Dia coba mencari nafkah dengan berjualan buah. Tokonya kecil, hanya sebentuk bilik berukuran 1x1 meter.
"Pas itu, saya selalu berpikir keras bagaimana membuat suatu usaha tapi enggak butuh modal banyak," katanya.
 Seniman Bang Poking di rumahnya yang sederhana. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Awal yang terlintas adalah buah-buahan. Namun kemudian, entah karena angin apa, Poking menjajal sekaligus melatih bakatnya dalam bidang memahat dan melukis.
"Saya sama sekali enggak sekolah, modalnya minimal banget cuma ngambil kayu di kebon, dipahat terus taro deh di warung. Lukisan juga begitu, ada kain sisa apa bisa saya jadiin lukisan, makin abstrak orang bule makin suka," ungkapnya.
Dari beberapa lukisan yang ditunjukannya, karya Poking memang terbilang nyeleneh. Salah satunya berupa lukisan bertuliskan 'Es Goblog.' Itu hanya bentuk huruf alfabet yang dibuat acak dengan perpaduan warna oranye dan hitam.
[Gambas:Video CNN]"Saya bikin kayak ini 10, laku. Satunya Rp5 jutaan. Pernah bikin yang bagus, malah enggak laku," katanya sambil tertawa.
Bakat seni yang diperoleh Poking secara otodidak itu turut membangun kedekatan dengan para ekspatriat di Kemang. Selain sebagai pelanggan, mereka juga menjadi teman baik Poking yang kerap ikut ragam kegiatan di kampungnya.
Mereka juga banyak memberi masukan bagi Poking.
 Kemang masa lalu dalam potret Bang Poking. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Kisah itu dituturkannya sembari membuka album foto kenangan masa lalu. Di teras rumahnya, ia menunjukkan serta menceritakan sedikit kisah di balik foto-foto itu. Kebulan asap rokok terselip di tengah cerita.
Poking bercerita soal galeri kecil yang berbentuk bak toko kelontong di kaki lima jalan Kemang. Itu merupakan saksi bisa awal dirinya mulai memiliki usaha sebagai pedagang buah sekaligus seniman.
Ada pula potret Kemang zaman dahulu. Hewan ternak yang pernah menjadi bagian penting kehidupan kawasan tersebut, abadi dalam foto. Jemarinya lalu berpindah menunjukkan keakrabannya dengan warga negara asing.
 Poking mengawali bisnis buah sekaligus menjadi seniman. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Dari foto-foto selagi dia berlibur ke pantai di Serang, Banten, hingga saat kegiatan 17 Agustus yang diikuti bule-bule. Dengan ciri khas rambut gondrongnya, Poking terlihat akrab di tengah para ekspatriat.
Zaman dulu, kata dia, sulit untuk memiliki koleksi foto berwarna atau bahkan memiliki kamera. Hanya orang-orang menengah ke atas yang mungkin memilikinya.
"Awal ketemu mereka ya karena dagang kaki lima sampe sekarang sudah punya galeri ada yang masih berteman. Sekarang karena galeri lagi direnovasi jadi ya pelanggan suka ke rumah aja kadang, sudah pada tahu kok," ungkapnya.
Pelanggan Poking datang dari berbagai negara. Amerika, Inggris, Jerman, juga Australia. Tidak hanya datang langsung, ada pula yang minta dikirimkan karyanya langsung ke negara mereka masing-masing.
Dalam sebulan, setidaknya ia menjual paling sedikit dua hingga tiga karya. Per buahnya dihargai mulai Rp5 juta.
"Yang penting cukup buat makan," katanya.
Sembari menyeruput kopi, dengan pandangan menerawang Poking bercerita bahwa meski ia merasakan untung dari kehidupan Kemang sekarang, ia turut menyesali atas apa yang terjadi pada kampungnya.
 Poking menunjuk teman-teman bulenya. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Pemandangan yang tak lagi hijau. Bising suara tempat-tempat hiburan, hingga semakin berkurangnya kehidupan bermasyarakat.
"Jadi kurang enak kayak kalau Hari Raya seperti ini, karena tetangga kita sudah habis. Terus itu juga gedong tinggi banget, enggak enak pemandangannya," keluh Poking.
"Kalau musik dari kafe-kafe ya kedengeran kalau malam. Awal-awal mah repot dah, berisik, tapi sekarang sudah terbiasa," ungkapnya lebih lanjut.
Demi tetap mendapat ketenangan di kampungnya. Poking memelihara puluhan ekor burung yang berkicau setiap harinya. Menurut dia, itu juga sebagai hiburan agar ia lupa kalau kini mengidap penyakit asma.
 Poking di rumahnya yang dipenuhi burung. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
"Biar enggak mikirin penyakit terus, jadi duit lukisan saya beliin burung-burung ini," katanya.
Di rumah yang ia tinggali dengan adik bungsunya itu, Poking memelihara beberapa ekor burung elang, perkutut, hingga beo. Persisnya ia kurang tahu jumlah pasti burung yang sudah ia miliki. Menurutnya, ada lebih dari 30 ekor.
"Adem banget dulu mah, orang Kemang itu dulu petani, sekarang sawahnya sudah jadi apartemen karena tahun 1980-an dijual ke orang Arab," ungkap Poking.
 Kemang identik dengan kawasan eksklusif untuk ekspatriat. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Awal mula kehidupan Kemang menjadi kota, menurut kisah Poking, karena pengusaha Bob Sadino membuka gerai bernama Kem Chicks pada 1970-an. Kala itu, di sana cukup banyak kaum ekspatriat yang datang dan tinggal karena lingkungan yang asri.
Kawasan yang cukup strategis dengan pusat perkantoran di Jakarta pun membuat kebanyakan ekspatriat betah. Kemang akhirnya makin berkembang dan dikenal sebagai kawasan hunian eksklusif.
Terletak di Kelurahan Bangka, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, konon nama Kemang berasal pohon kemang yang banyak tumbuh di sana. Sayang, lantaran pembangunan yang masif kini tak ada lagi pohon kemang yang bisa dijumpai di kawasan tersebut.
 Kemang sekarang, dipenuhi kafe dan restoran mewah. (CNN Indonesia/Joko Panji Sasongko) |
Kemang justru lebih dikenal sebagai salah satu kawasan elit nan ikonis bagi kalangan muda-mudi ibukota.
Hotel, bank, restoran, kafe, salon, hingga toko-toko yang menyajikan berbagai kebutuhan bagi kalangan kelas menengah ke atas Jakarta berjejeran di kawasan itu. Sekolah dan perguruan tinggi berstatus internasional bahkan ada di sana.
Dinamisnya pembangunan bisnis di kawasan Kemang juga semakin menjadi, tatkala Kemang didaulat sebagai 'Kampung Modern' berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 140 Tahun 1999.
Tapi jangan lupa, di balik tembok-tembok tebal modernitas Kemang, ada penduduk Betawi asli yang mengorbankan hidupnya seperti Hasimah, Sanwani dan Poking.