Jakarta, CNN Indonesia --
Permainan tradisional adalah salah satu bagian dari ragam kebudayaan yang tumbuh di Indonesia. Sebelum gempuran perkembangan teknologi muncul, aneka permainan tradisional sempat mewarnai kehidupan anak-anak Indonesia.
Beberapa di antaranya dikenal luas di berbagai daerah, seperti petak umpet, galah asin atau gobak sodor, kelereng, lompat karet, ampar-ampar pisang serta bentengan. Namun itu nyatanya hanya segelintir dari ribuan permainan yang tersebar di Indonesia.
Setidaknya, menurut peneliti dan 'doktor' permainan tradisional Mohamad Zaini Alif, ada hampir 2.600 permainan tradisional yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sering dimainkan sebagai lomba ketika momen perayaan Kemerdekaan Indonesia, Zaini menyebut bahwa permainan tradisional hakikatnya tercipta sebagai hasil kebudayaan dari masyarakat setempat, bukan bawaan bangsa asing yang sering dikira sebagian pihak.
Bahkan, kata Zaini yang merujuk teori sejarawan Belanda Johan Huizinga dalam bukunya
Homo Ludens (1938), permainan tradisional adalah puncak dari segala hasil kebudayaan.
"Jadi asal-usul perwujudan kebudayaan itu dari permainan tradisional. Dari permainan, dari konsep bermain di anak-anak itu sendiri. Anak-anak memiliki konteks bermain, orang dewasa memiliki konteks bermain, kemudian jadilah budaya-budaya itu muncul," kata Zaini saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com di Bandung, beberapa waktu lalu.
Bila kini permainan tradisional dinilai hanya soal menang atau kalah dan mengisi waktu luang, Zaini mengatakan di masa lalu permainan tradisional juga bisa dianggap sebagai persembahan, pengabdian untuk negerinya, serta cara dalam bekerja.
Satu KeturunanZaini mengisahkan petualangannya mencari asal-usul permainan tradisional dalam berbagai riset yang pernah ia lakukan. Ia sudah menelusuri permainan tradisional sejak SMA, menyelesaikan pendidikan doktoral alias S3 dan masih berlanjut hingga kini.
"Asal-usul permainan tradisional di Indonesia sendiri sebenarnya saya menemukan dalam berbagai naskah-naskah kuno abad ke-15, naskah saweka darma
Sanghyang Siksa Kandang Karesian," kata Zaini.
"Bahwa ternyata mainan yang dimainkan saat itu dikuasai oleh satu ahli yang bernama Hempul. Naskah itu menjelaskan bahwa dulu mainan sudah jadi hal penting sehingga ada ahlinya," lanjutnya.
 Zaini sudah menelusuri permainan tradisional Indonesia sejak SMA. (CNN Indonesia/Yoko Yonata Purba) |
Hempul merupakan staf kerajaan yang ahli memainkan permainan tradisional di samping beberapa staf ahli lain seperti Paraguna (ahli perang) dan Cakra (ahli masak).
Dalam pencarian lainnya, ia menemukan sebuah kamus yang dibuat pada 1869 yang telah mencantumkan berbagai nama permainan. Salah satunya, permainan yang menggunakan gerak lompat telah ada sejak abad 15.
Selain mencari tahu berdasarkan data yang ada dapat di Indonesia, ketertarikannya pada permainan tradisional pun membuat ia sampai mengembara ke Belanda. Di kota Leiden, Zaini mendapatkan banyak temuan tentang permainan tradisional Indonesia.
"Belanda sangat berkonsentrasi bahkan membuat buku
Javanese Kinde Spellen, buku tentang permainan anak-anak Jawa dan itu ada 250. Bukunya sangat tebal, bahkan foto-foto permainan. Artinya, ada satu perhatian khusus oleh Belanda terhadap permainan di Indonesia," kata Zaini.
Berbagai temuan itu diakui Zaini membuat dirinya semakin bertanya sebab permainan bisa memiliki kesamaan di berbagai tempat. Ia pun menemukan jawabannya dari teori yang dikemukakan Granville Stanley Hall, psikolog Amerika Serikat (1846-1924).
Stanley Hall mengemukakan sebuah teori yang dikenal dengan teori atavistis, yang berasal dari kata 'atavus' yang bermakna 'nenek moyang'. Stanley Hall menyebutkan bahwa di dalam permainan akan timbul bentuk-bentuk perlaku yang menggambarkan bentuk kehidupan yang pernah dialami oleh leluhur.
"Ternyata, begitu satu permainan sama di semua wilayah maka semua wilayah itu satu keturunan yang sama, teori atavus begitu. Berarti, untuk menunjukan satu keturunan yang sama meskipun kita berbeda negara, agama, budaya, itu dengan permainan tradisional, itu
entry point-nya," kata Zaini.
"Dalam permainan tradisional, saya ingin memperlihatkan bahwa dalam keragaman adalah kesatuan. Kalau ada beragam permainan tetapi memiliki esensi nilai yang sama, maka kita satu keturunan yang sama. Itu kalau kesejarahan bermain," lanjutnya.
Zaini membongkar keunggulan permainan tradisional atas modern di halaman selanjutnya..
Zaini pun mengungkapkan perbedaan mendasar antara permainan tradisional dengan modern yang kini merajai kebudayaan dan pendidikan anak. Menurutnya, permainan tradisional mengutamakan kebahagiaan pemain alih-alih soal menang atau kalah.
"Tetapi permainan modern itu sekarang lebih mengarah pada kemenangan, jadi dia harus menang dulu, harus juara dulu, baru mereka akan senang," kata Zaini.
"Tetapi kalau permainan tradisional itu dia senang dulu [baru menang atau kalah]. Ini yang membuat batasan permainan tradisional ini menjadi sangat unik," lanjutnya.
Televisi dan Pergeseran Minat AnakBerdasarkan hasil penelitian Zaini, masa gemilang permainan tradisional adalah pada dekade '70 hingga '90-an. Saat itu, halaman di wilayah tempat tinggal masyarakat masih luas untuk digunakan untuk bermain.
Ditambah, lama waktu anak-anak bersekolah pun hanya sampai pukul 12 siang. Kebijakan ini membuat anak-anak memiliki banyak waktu sebelum matahari terbenam.
"Material permainannya pun masih banyak. Kemudian, saat itu juga baru ada satu saluran televisi TVRI yang baru mulai pukul 05.00 sore sehingga tidak ada kesempatan anak untuk menikmati tontonan dan mereka memilih mengeksplor keluar dan bermain permainan tradisional," kata Zaini.
Namun perkembangan zaman dan televisi mengubah pola bermain anak. Televisi swasta mulai berkembang memasuki dekade '90-an, menawarkan lebih banyak hiburan di dalam rumah. Anak-anak pun malas bermandikan terik matahari tropis.
Selain itu, lonjakan populasi membuat kebutuhan lahan untuk membangun rumah semakin besar. Akibatnya, lahan-lahan luas mulai diubah menjadi bangunan beton yang berujung menyempitnya arena bermain untuk anak.
"Saya merasakan tahun '90 atau '91 itu anak-anak sudah mulai bergeser atau kurang bermain keluar, bertemu teman-temannya, meskipun sekarang di kampung-kampung masih berlangsung seperti itu sebenarnya," kata Zaini.
Belum lagi, saat ini gempuran yang hadir berupa permainan dalam gawai. Anak-anak lebih memilih duduk di rumah, asyik memainkan gawai atau berhadapan dengan layar komputer dan ponsel genggam.
[Gambas:Instagram]Perubahan kondisi itu menggerakkan hati Zaini untuk mengembalikan kebutuhan anak untuk bersosialisasi dengan sebayanya dan memainkan permainan tradisional melalui Komunitas Hong yang ia dirikan pada 2005.
Di samping itu, permainan tradisional pun ia anggap menjadi media sangat lengkap bagi anak-anak dapat mengenal budaya bangsanya sekaligus sebagai upaya menyiapkan mereka lebih peduli terhadap lingkungannya.
"Karena permainan sekarang mungkin tidak langsung bersentuhan dengan daunnya, tidak bersentuhan lagi dengan temannya, tidak bersentuhan dengan airnya, tapi digembor-gemborkan untuk cinta tanah air," kata Zaini.
"Ironinya, anak-anak sekarang tidak kenal tanah airnya itu sendiri, tidak kenal tanah itu dipijak dan ada hal yang menyenangkan dengan permainan air," lanjutnya.
Zaini juga merasa optimis bahwa kelak permainan akan kembali muncul sebagai media pembelajaran bagi anak-anak. Menurutnya, masa saat ini adalah adalah momen anak-anak akan merasakan kejenuhan bermain permainan modern.
"Mereka ingin menggerakan tangannya, mereka ingin menggerakan kakinya, mereka ingin mencari lagi permainan yang lainnya. Jadi, bukan anak-anak tiba-tiba harus kembali ke permainan tradisional dan bermain permainan tradisional. Tetapi, permainan [tradisional] itu diangkat sebagai konsepsi nilai-nilai yang sekarang ini dibutuhkan." kata Zaini.